Entah lontong balap entah makanan khas yang menjadi topik utama, tidak perlu kita gunakan frasa "salah satu". Mengapa? Karena memang cuma satu makanan khas yang diulas. Lagi pula, tanpa disebut "salah satu" pun pembaca tahu bahwa ada makanan khas Surabaya selain lontong balap.
Dengan demikian, jika "lontong balap" yang menjadi topik utama maka langsung letakkan lontong balap sebagai kata pembuka. Misal: Lontong balap adalah makanan khas Surabaya yang cukup terkenal, bahkan sudah melegenda.
Ada beberapa kata yang saya pangkas dengan pertimbangan keberadaan kata tersebut melemahkan makna. Kata-kata tersebut adalah salah, satu, dari, dan Kota.Â
Pada sisi lain, saya tambahkan "bahkan" pada anak kalimat. Fungsi kata sambung "bahkan" adalah menghubungkan dan menguatkan. Jadi argumen awal "cukup terkenal" diperkuat dengan "sudah melegenda".
Sekadar berbagi rahasia, kalimat yang efektif terdiri atas sebanyak-banyaknya 7 (tujuh) kata. Jika lebih dari itu maka harus kita sajikan dengan baik. Caranya dengan menggunakan tanda koma (,) pada posisi dan dengan porsi yang tepat. Penulis yang baik tidak akan memaksa pembaca sesak napas.
Perhatikan. Kalimat awal dalam alinea pertama yang saya kutip menggunakan 15 kata. Kalimat kedua jauh lebih panjang, yakni 24 kata. Â
O ya, struktur kalimat perbaikan menjadikan lontong balap sebagai topik utama. Nah, letaknya mesti di subjek kalimat. Peletakan lontong balap sebagai subjek kalimat sekaligus mengantar pembaca dalam menikmati ulasan tentang lontong balap, bukan rupa-rupa makanan khas.
Selain terasa amat panjang karena dirangkai dari 24 kata, kalimat kedua juga terlalu banyak memakai "yang" dalam satu kalimat. Empat kali. Gila. Kita bisa mengatasinya dengan cara memangkas dan memecah kalimat. Di situ perlu ada "rasa baca".
Rasa baca itu apaan, sih? Rasa baca adalah perasaan kita "sudah enak atau belum" serta "sudah sedak atau belum". Tiada berbeda dengan memasak. Kalau sudah enak dibaca berarti jos. Sebagai pembanding, berikut saya sajikan hasil suntingan paragraf yang saya kutip dari tulisan Mbak Nazar.
Lontong balap adalah makanan khas Surabaya yang cukup terkenal, bahkan sudah melegenda. Warung Pak Gendut di Jalan Prof. Moestopo, Surabaya, termasuk warung makan yang menyajikan lontong balap. Harganya cukup variatif. Ramah kantong pula, dari puluhan hingga ratusan ribu.
Begitulah dua rekan Kompasianer membuka artikelnya dengan paragraf pembuka yang agak bertele-tele dan plintat-plintut. Bukan berarti tulisan Fery dan Nazar jelek atau buruk, ya, sebab saya tidak menyisir keseluruhan artikel dan menguliknya dengan lebih saksama.Â
Meski begitu, saya berharap semoga Fery dan Nazar tidak tersinggung, lalu mengamuk-amuk lewat puluhan artikel. Kalau alinea pembuka sudah diperbaiki sih tidak apa-apa. Kalau masih sama, hmmm, pembaca juga yang tersiksa. Salam takzim. Â [kp]