Bayangkan seseorang bertanya kepadamu, "Kamu siapa?"
Tentu saja kamu ingin menjawab pertanyaan itu sesuai dengan minat, bakat, atau profesimu. "Saya penulis!" Itu sekadar contoh. Sayangnya, pertanyaan baru bisa-bisa menyodok dan memojokkan perasaanmu. "Berapa banyak artikel yang kautulis dalam setahun?"
Jika menjawab sesuai fakta, misalnya dua artikel dalam setahun, barangkali kita akan malu sendiri menyebut diri sebagai penulis. Dua artikel dalam setahun tentu saja dapat dianggap sebagai prestasi, tetapi pada sudut tilik berbeda dapat pula disebut pemalas.
Semasa mengisi pelatihan menulis bagi karyawan Bank DKI, pada tahun lalu, saya langsung menerjang otak peserta dengan kalimat pembuka seperti itu. Sebut saja dekonstruksi. Apakah bisa seseorang disebut petani apabila ia hanya ke kebun, ladang, atau sawah sekali dalam sebulan? Bisa saja, sih, tetapi tanaman yang ia rawat mungkin keburu dimangsa hama, dilindas binatang, atau direcoki alang-alang.
Penulis sejatinya adalah profesi yang dapat dilakukan bersamaan dengan pekerjaan lain. Menulis bisa menjadi pekerjaan pokok, bisa pula pekerjaan sambilan. Sekalipun menulis adalah pekerjaan utama saya, tetapi saya bisa menulis sambil berak. Itu kelakar basi, tetapi memang benar demikian adanya.
Walau begitu, kamu tidak perlu cemas jika saban hari dirimu dikeroyok oleh rasa malas. Malas bukan harta tak bergerak yang mutlak dimiliki oleh penulis. Dosen juga ada yang malas. Pegawai negeri juga ada yang malas. Polisi juga ada yang malas. Anggota DPR juga banyak yang malas. Pendek kata, malas jangan kamu akui sebagai milikmu sendiri.
Lantaran malas dapat menghambat aktivitas intelektual, penulis harus punya strategi jitu atau taktik cespleng untuk menaklukkannya. Strategi atau taktik macam apa? Tidak bisa asal jiplak, Kawan. Rasa malasmu berbeda dengan rasa malas yang saya hadapi. Levelnya bisa berbeda, begitu pula dengan bobot dan masa berlakunya.
Kendati demikian, saya ingin menceritakan pengalaman saya dalam menghadapi Si Malas yang sangat berengsek itu. Bukan apa-apa. Saya pernah hampir modar gara-gara memakai sistem kebut semalam. Tiga hari tiga malam saya paksa otak agar terus segar saat bercinta dengan papan tombol laptop. Tulisan rampung, saya teler.
Sebagaimana tubuh yang butuh vitamin, penulis juga memerlukan vitamin untuk menangkal serangan kuman Malas. Apa saja? Baik, kita kupas satu per satu,
Kedua, Cerdas. Sebagai penulis, saya rutin menenggak vitamin cerdas agar imun otak dan hasrat saya kuat berhadap-hadapan dengan Malas. Pintu masuk bernama "bosan" saya tutup rapat-rapat. Kalau bosan menulis artikel, saya pindah ke puisi. Jemu menulis puisi, saya beralih ke prosa. Capek menulis prosa, saya transmigrasi ke surat cinta.
Ketiga, Cergas. Malas itu tuman. Ia bisa datang kapan saja, di mana saja, dan suka main selonong. Itu sebabnya saya berusaha selalu cergas atau sigap atau cekatan. Malas sedikit, langsung buka laptop. Kemudian membuka medsos, membaca berita, menonton video, atau sekadar mengutak-atik Word dan PowerPoint. Biasanya setelah itu otak saya langsung terangsang, mengalirlah ide, dan sontak menulis.