Kenapa bisa seperti itu? Efektivitas peluapan emosi. Sangatlah sukar bagi orang yang tengah marah untuk menggunakan kalimat panjang dengan unsur kalimat yang lengkap, utuh, dan sesuai dengan kaidah kebahasaan. Itu sama seperti mencari uban di kepala bocah berusia lima tahun.
Manakala kita tersinggung dan kesal luar biadab, gerbang gudang kosakata kita tidak terbuka lebar. Hanya terkuak sedikit. Tidak heran jika kita sukar mengungkapkan kemarahan dengan kalimat utuh. Saya sangat marah mendengar kata-kata yang kamu ucapkan tanpa mengindahkan perasaan saya. Aduh, coba saja sendiri menggunakan kalimat seperti itu kalau tengah marah. Pasti lebih enak menggunakan: Anjing!
Tatkala orang-orang lebih berkutat pada makna negatif kata anjing dan abai pada makna positifnya, anak-anak muda yang terlampau kreatif kemudian mengubah anjing menjadi anjir. Merasa unsur kasar pada anjir masih sangat kentara, muncul inovasi kata bernama anjrit dan anjay. Ini dia. Tidak selamanya anjing, anjir, anjrit, dan anjay itu bermakna buruk atau busuk.
Apakah saya membenarkan perisakan atau perundungan dengan menggunakan kata "anjay"? Tidak begitu, Sobat. Saya hanya ingin menunjukkan bahwa banyak kata selain anjay yang bisa digunakan oleh manusia, termasuk anak-anak, untuk merisak atau merundung orang lain.
Ketika Komnas PA melarang penggunaan kata anjay, anak-anak bisa menggunakan bangsat, bangke, setan, atau taek. Artinya, bukan kata tertentu yang mesti dilarang. Bukan. Tindakan seperti itu tiada berbeda dengan melihat curut berkeliaran di dapur lantas kita bakar dapur di rumah kita. Dapur terbakar, curut entah lari ke mana.
Titik masalahnya bukan pada kata yang digunakan, melainkan pada bagaimana kita menggunakan kata. Tatkala kita memilih kata, kita mesti mempertimbangkan makna konotasinya. Kita juga harus tahu (1) situasi apa yang sedang terjadi, (2) dengan siapa kita berkomunikasi, dan (3) media apa yang kita gunakan untuk berkomunikasi.
Dalam sebuah surat resmi, misalnya, penggunaan "kamu" saja bisa dianggap kasar. Ambil contoh seorang menteri mengirim surat kepada seorang gubernur dan menginstruksikan, "Kamu harus segera melaksanakan kegiatan agar anggaran bisa terserap dengan baik."
Lebih celaka lagi apabila pengguna kata anjay akan dipidana. Bagaimana jika bocah berusia empat tahun yang, entah bagaimana caranya, mengatakan "anjay" kepada ibunya? Apakah bocah itu akan kita pidana? Di sisi lain, bocah yang tengah belajar berbicara itu boleh jadi meniru orangtuanya atau latah gara-gara tontonan di gawai.
Mari kita menyelam lebih dalam. Apakah pelarangan penggunaan kata anjay otomatis menghentikan perilaku perisakan? Rasa-rasanya mustahil. Perisakan, entah daring entah luring, bisa terjadi setiap saat, dilakukan oleh siapa saja, dan dengan cara apa saja.
Ingat, meludah saja pada kondisi dan situasi tertentu dapat dianggap tindakan yang merendahkan atau melecehkan martabat orang lain. Bersiul di kamar mandi bisa kita sebut hiburan, bersiul ketika ada seseorang yang melintas di depan kita dapat dianggap sebagai penghinaan atau pelecehan.
Orangtua, institusi pendidikan, dan lembaga negara--seperti Komnas PA atau KPAI--mestinya menilik pangkal masalahnya. Cari akar perkara, bongkar akar itu, lalu temukan cara untuk mengobati "penyakit mental" yang membuat akal budi kita tercemari ketakmanusiawian.