Messi, aku masih ingat gol pertama yang engkau cetak buat Barca. Kala itu, 1 Mei 2005. Kamu masih sangat muda, baru 17 tahun, untuk bermain melawan Albacete yang tidak mudah ditaklukkan.
Engkau masuk menggantikan Samuel Eto'o pada menit ke-88. Hanya semenit di lapangan, engkau telah mengoyak gawang Valbuena. Sayang sekali wasit menganulir golmu, padahal asis keren Ronaldinho dan bola cungkil indahmu sudah menggemuruhkan Camp Nou.
Kukira usia muda akan mudah membuatmu patah arang. Ternyata tidak. Pada masa waktu tambahan engkau benar-benar menyulap umpan matang Ronaldinho menjadi gol rancak. Ronaldinho. Mentormu berteriang riang dan menggendongmu.
Aku masih ingat sinar matamu saat itu, Messi. Penuh binar semangat. Sarat cinta pada Barca. Pasti banyak suporter Barca yang mengenang momen sentimental dan fenomenal itu, Messi. Bahkan, Juliano Belletti pun masih mengingatnya.
Tidak ada masalah dengan nomor punggung. Bagiku, baik nomor punggung 30 maupun 19, kamu tetap seorang tukang sihir dengan gocekan maut, umpan berkelas, dan gol indah. Namun, nomor punggung 10 menegaskan betapa krusial peranmu dalam mengkreasi dan mencetak gol.
Tinggi badanmu jelas sangat jomplang jika dibandingkan dengan Pique atau Ibrahimovic. Namun, tubuh mungil bukan halangan bagimu untuk pamer kop. Pada suatu ketika, 27 Mei 2009, lompatanmu setinggi 1,04 meter mampu membuat pilar menara Manchester United melongo.
Asis Xavi mengajakmu menyelinap di antara Rio Ferdinand dan John O'Shea. Raksasa van der Sar pun tak sanggup menjangkau sundulanmu. Magis lompatan dan kopmu di Stadion Olimpico Roma menjadi salah satu gol ikonis Liga Champions Eropa.
Dini hari 10 Juni 2007. Pada laga derbi melawan Espanyol, setelah Gianluca Zambrotta menyisir sisi kanan lapangan, setelah bek sayap asal Italia itu mengirim umpan silang, engkau melompat dan tanganmu mengirim bola ke gawang Kameni.
Aku kenang laga itu, Messi. Baahwa ada unsur kecurangan karena aksimu menggunakan tangan, itu ada benarnya. Bahwa ada elemen kecerdasan karena refleksmu memakai tangan, itu juga ada benarnya. Bahkan Thierry Henry terpangah menyaksikan golmu.
Dari sisi kanan lapangan kauterima umpan Xavi. Setelah menggoreng bola, engkau menari-nari di atas lapangan. Nacho Perez terkecoh. Luis Paredes tidak berkutik. Alexis Ruano bingung hendak berbuat apa. David Belenguer tidak sanggup menahan lajumu.
Kiper Luis Garcia maju untuk menutup laju larimu, Messi, tetapi bola seperti sangat mencintai kakimu. Sekalipun disepak ke sana kemari, bola tetap lengket di kakimu. Pada akhirnya engkau mencetak gol dengan sontekan setengah cungkil yang elok.
Engkau merebut bola dari kaki lawan di bagian tengah lapangan seakan-akan itu bukan persoalan sulit bagimu. Tubuhmu sempat agak sempoyongan, tetapi kamu bisa menjaga keseimbangan. Setelah itu, kamu melesat mendekati kotak penalti lawan.
Kecepatanmu berlari setelah lepas dari adangan lawan juga tampak sangat jelas. Malah, kamu seakan-akan tidak perlu berpikir keras sekadar untuk melewati bek yang tersisa. Gol indah kembali bersarang di jala lawan. Josep Guardiola pun terperangah.
Kenangan demi kenangan itu tetap akan menempati ruang khusus di bilik ingatanku. Jika akhirnya engkau pergi meninggalkan Barcelona, aku tetap merawat ingatan itu. Aku tidak akan menukar kenangan indah tentang kehebatanmu dengan kebencian hanya karena kamu kini menanggalkan seragam Barca.
Ke mana pun kamu pergi, Messi, cinta tetaplah cinta. Bagaimanapun caramu pergi, Messi, cinta tetaplah cinta. Di mana pun kamu bermain, Messi, cinta tetaplah cinta. Sebagai fan Barcelona yang fanatik, aku doakan semoga yang terbaik selalu tercurah kepadamu. [kp]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H