Ketika nama Fahri Hamzah dan Fadli Zon dicuitkan oleh Pak Mahfud MD, netizen kontan riuh. Yang senyap tiba-tiba gegap. Yang diam tiba-tiba berbunyi. Yang kalem tiba-tiba liar. Pokoknya rupa-rupa warnanya. Ada yang belingsatan, ada yang kebakaran alis. Ada yang nyinyir, ada yang nyunyun. Pokoknya macam-macam.
Pak Mahfud pun bertambah pekerjaannya, yakni menjelaskan kepada netizen yang budiman soal kenapa kedua tokoh "anti-Jokowi" itu mesti menerima tanda kehormatan.
Kata beliau, kedua tokoh "seberang" tersebut pernah menjabat sebagai Pimpinan DPR. Dengan demikian, mereka berhak menerima Bintang Mahaputera Nararya.
Tentu saja Pak Mahfud harus memaklumi kenekatan warganet. Salah sendiri. Andai kata beliau tidak nyang-nying-nyong alias ngoceh-ngoceh di Twitter, netizen tidak akan banyak cingcong. Di mana ada asap pasti ada api. Itu hukum rimba yang berlaku di dunia pergunjingan dan perisuan.
Kalaupun netizen mempertanyakan kelayakan dan kepatutan mantan aktivis "kubu sebelah", ya, itu juga wajar. Bagi netizen, apa saja bisa dikomentari.
Di lain pihak, ada sebagian orang yang merasa keberatan apabila Duo F didaulat untuk menerima Bintang Mahaputera Nararya. Kedua tokoh itu dianggap sebagai sosok penganjur kebencian.
Di sisi lain, para pendukung Duo F juga nyinyir. Bagi mereka, diberi tanda jasa oleh Pak Jokowi adalah sesuatu yang nista.
Sekarang mari kita dinginkan kepala dulu. Sebenarnya tidak mudah juga untuk mendapat tanda jasa atau tanda kehormatan. Ada syarat khusus yang mesti dipenuhi.
Orang yang menilik, menilai, dan menentukan kelayakan dan kepatutan penerima tanda jasa juga bukan asal. Ada dewan yang khusus membahas tentang hal tersebut. Anggotanya tidak banyak, hanya tujuh orang.
Ketentuannya juga tidak mudah. Aturannya ada. Semua tercantum di dalam UU No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Kehormatan. Jadi, ketika seseorang diusulkan oleh dewan penilik calon penerima maka keputusan akhir tetap berada di tangan Presiden RI.Â