Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pada Hari Haru Ini, Sudahkah Kita Meniru Nabi Ibrahim?

1 Agustus 2020   10:46 Diperbarui: 1 Agustus 2020   12:41 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sudah saatnya kita bertanya kepada hati kita. (Ilustrasi: wallpaperplay.com)

Ada orang yang rela mengurbankan pangkat, jabatan, atau kedudukan demi kebaikan umat? Ada juga orang yang rela mengorbankan umat demi pangkat, jabatan, atau kedudukan? Andaikan Anda punya jabatan, Anda termasuk golongan yang mana?

Selamat Hari Raya Iduladha 1441 H. Pada tahun ini, umat Islam di seluruh dunia merayakan pengurbanan dengan rupa-rupa pengorbanan. Mereka yang bermukim di Zona Merah Korona bahkan tidak bisa salat Ied berjamaah. Mereka yang berada di tanah rantau susah mudik. Bahkan penonton programa potong-memotong hewan kurban pun tak sesemarak lebaran-lebaran sebelumnya.

Setiap tahun umat Islam merayakan Hari Raya Iduladha. Ada yang memotong sapi, ada yang menyembelih kambing. Tahun ini suasananya sangat berbeda. Salat sunah Iduladha agak sepi. Di kampung saya, jumlah hewan kurban menurun drastis dibanding tahun-tahun sebelumnya. Perayaan hari kurban yang berasa muram.

Meski begitu, esensi hari kurban tidaklah menurun. Masih sama. Masih tentang keinginan berbagi nikmat kepada sesama. Masih tentang kesediaan berbagi harta kepada manusia. Mereka yang biasa makin daging berbagi daging kepada tetangganya. Mereka yang jarang makan daging akhirnya bisa memasak dan melahap daging.

Orang-orang yang tahun ini sempat berbagi hewan kurban tentu saja merasakan kenikmatan berlipat ganda. Kenapa? Karena mereka berbagi justru pada masa sulit. Masa ketika pohon uang malas berbuah. Masa ketika paceklik pendapatan begitu terasa. Jelas ada kebahagiaan tersendiri tatkala kita menyumbang atau memberi manakala dapur kita sendiri tengah ketar-ketir.

Sempat santer beredar kabar tentang daging yang bakal ditukar dengan uang. Pandemi korona alasannya. Kita bisa memahami dan menerima alasan itu. Bagaimanapun, rantai persebaran virus korona harus dihentikan. Pandemi harus diakhiri. Akan tetapi, kurban berupa daging menghadirkan kesyukuran tersendiri.

Cita rasa mendapat jatah daging kurban berbeda jika ditukar dengan uang. Ketika kita menerima daging kurban, kita masih harus mengolah daging itu jika kita ingin menikmatinya. Beda halnya dengan uang. Begitu menerima amplop berisi uang pengganti daging kurban, hasrat berbelanja jauh lebih menggebu dibanding membeli lalu memasak daging.

Lantas, mana yang lebih baik antara daging kurban dan uang kurban? Pertanyaan seperti itu mestinya tidak usah kita lontarkan. Mereka yang butuh uang tentu akan sangat terbantu ketika mencari uang sebegini sulit. Mereka yang jarang makan daging juga bergembira kalau mereka menerima rangsum daging kurban. Jadi, sama saja.

Ada ilustrasi menarik yang patut kita renungkan. Suatu ketika ada yang bertanya kepada Gus Dur tentang siapa sebenarnya yang disembelih oleh Nabi Ibrahim. Ajaran Yahudi menyebut Ishak, sedangkan ajaran Islam menyebut Ismail. Gus Dur menjawab dengan santai, "Sama-sama tidak jadi disembelih, kok, jadi tidak usah diributkan!" Kecerdasan dan selera humor Gus Dur memang top markotop. Sekali jawab, Yahudi dan Islam sama-sama puas.

Dengan demikian, perdebatan soal daging atau uang kurban dapat kita sudahi sekalipun dengan logika berpikir yang sederhana. Persis kata Gus Dur, baik Ismail ataupun Ishak sama-sama batal disembelih. Gitu aja kok repot. Jika kita alihkan pada daging atau uang kurban, hasilnya sama-sama berguna. Hal paling esensial justru kemauan dan kemampuan berkurban.

Apakah gairah berkurban susut akibat pandemi korona? Entahlah. Penurunan jumlah hewan kurban di tempat saya bermukim tidak dapat saya jadikan patokan. Di satu daerah mungkin menurun, di daerah lain boleh jadi tetap atau malah meningkat. Hingga hari ini saya belum mendapat kabar perihal lembaga survei yang melakukan jajak pendapat tentang fluktuasi hewan kurban di tengah pandemi korona.
Meski begitu, ada satu perkara yang layak kita renungkan. 

Apakah pada Hari Raya Iduladha tahun ini kita sudah meniru, menjiplak, mencontoh, atau meneladan ketulusan Nabi Ibrahim dalam berkurban? Apakah setelah tiap tahun merayakan Iduladha maka hasrat berkurban kita menjadi-jadi? 

Pertanyaan itulah yang seharusnya kita sodorkan kepada hati kita.

Dewasa ini, kita bisa melihat Ismail atau Ishak dari sudut pandang berbeda. Boleh jadi yang Ismail atau Ishak dari diri kita adalah jabatan kita. Kalau benar begitu, sudahkah jabatan kita itu kita kurbankan demi kebaikan umat? Jangan-jangan jabatan justru kita jadikan sapi perah untuk memperkaya diri, keluarga, atau golongan kita. Alangkah zalimnya kita kalau itu yang terjadi. Kita butuh kapak Ibrahim untuk menghancurkan berhala bernama jabatan.

Itu bukan perkara sepele. Beberapa orang ngeyel harus dihormati, bahkan disembah, karena menduduki jabatan tertentu. Seorang gubernur, misalnya, marah-marah jika tidak disambut secara meriah ketika berkunjung ke daerah di dalam wilayahnya. Gubernur seperti itu lupa bahwa mempersiapkan acara penyambutan bukanlah hal yang mudah. Kadang tidak murah pula.

Mari mengetuk hati. (Ilustrasi: pixabay.com)
Mari mengetuk hati. (Ilustrasi: pixabay.com)

Bagaimana jika Ismail atau Ishak yang kita miliki adalah harta benda? 

Itu juga layak kita renungkan. Setiap hari kita menyantap makanan mewah dan bergizi, sementara tetangga kita terpaksa mengikatkan sarung ke perutnya demi menahan lapar. Kalau hal itu terjadi, layakkah kita menganggap bahwa kita sudah meneladan keikhlasan Nabi Ibrahim? Rasa-rasanya belum.

Kita tidak tahu kapan Dia memanggil kita. Nyawa dan ajal sangat rahasia. Maka dari itu, sangatlah patut kita memeriksa diri. Sudahkah kita berkurban? Harta dan jabatan hanyalah kepemilikan pinjaman. Sifatnya sementara. Kalau kita wafat, mobil dan kursi tidak menyertai kita ke dalam kubur. [kp]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun