Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Fenomena Lambe Turah, Komunitas Gibah Virtual, dan Pilkada 2020

29 Juli 2020   14:48 Diperbarui: 30 Juli 2020   08:05 950
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak ada adu visi dan misi. Tidak ada tarung gagasan. Tidak ada debat tentang akan dibawa ke mada daerah tercinta, apa yang mesti dilakukan demi kemajuan tanah kelahiran, siapa yang harus urun andil dalam pembangunan daerah. Semua itu kalah menarik dibanding "si anu dulu pernah begitu" atau "si itu dulu sudah begitu".

Warganet pun terkotak-kotak. Di luar jaringan bertengkar tiada habis, di dalam jaringan jauh lebih parah. Masih subuh sudah tukaran hoaks. Belum siang sudah berdebat kusir. Menjelang petang tukaran kado berisi hinaan. Benar-benar memuakkan.

(3)

Smelser menyatakan bahwa ketegangan struktural merupakan salah satu faktor pemantik perilaku kolektif. Ketegangan struktural itu terjadi karena situasi sosial, seperti keberagaman agama, suku, ideologi, dan ras.

Ada juga regangan struktural yang muncul karena penganut agama atau etnik tertentu merasa lebih dominan dibanding yang lain. Regangan struktural berakar pada kesenjangan antaretnik atau antaragama.

Terakhir, kepercayaan struktural yang dibangun di atas "tanah rawan bencana". Beda sedikit langsung gempa, beda banyak seketika roboh. Desas-desus mudah dipercaya kebenarannya, kemudian disebarluaskan.

Ilustrasi: Khrisna Pabichara
Ilustrasi: Khrisna Pabichara

Media sosial lantas menjadi media penyebarluasan kecurigaan dan kecemasan, mobilisasi opini, atau materi kampanye hitam. Semua orang kontan kehilangan saringan: buat apa sesuatu diujarkan, untuk siapa sesuatu dikabarkan, serta bagaimana sesuatu disampaikan.

Hakikat awal tujuan kehadiran media sosial, yakni sebagai pertukaran informasi, ajang memelihara tali persahabatan sosial dan kekerabatan, negosiasi status dan pengambilan keputusan, serta bersama-sama merayakan kegembiraan akhirnya perlahan-lahan tergerus.

Bahasa yang santun dan beradab seketika ditukar dengan model sarkastik. Mereka tidak tahu bahwa sarkastik berasal dari kata sifat sacer-sacris. Dalam bahasa Latin berarti "tajam". Jadi, sarkastik berarti "sifat dari sesuatu yang tajam seperti melukai, menyakiti, dan lain-lain".

Sarkastik diungkapkan dengan sarkasme. Kata ini berakar dari sarkasmos atau sarkazo. Dalam bahasa Yunani berarti "daging atau hati yang tertusuk". Singkat kata, sarkazo adalah "sesuatu yang ditusukkan dalam-dalam sehingga menyebabkan rasa sakit yang mendalam".

Keraf dalam Diksi dan Gaya Bahasa (2004: 143) menyatakan bahwa sarkasme diturunkan dari kata Yunani, yakni sarkasmos--yang lebih jauh diturunkan dari kata kerja sakasein---dengan arti "merobek-robek daging seperti anjing menggigit bibir karena marah".

Sementara itu, Cummings (2007: 15) menyatakan bahwa kata sarkazo kemudian lebih dikenal daripada sarx-sarkos yang berarti "menyindir dengan tajam atau sindiran yang tajam".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun