Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Kesal dan Lejar Menjelang Naik Kelas di Kompasiana

22 Juli 2020   09:52 Diperbarui: 22 Juli 2020   10:13 425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sapardi Djoko Damono (Ilustrasi: Alfin Rizal)

Bagaimana bisa seorang Khrisna, yang selama ini gemar mengajak orang teliti dan telaten menulis, salah tulis nama sastrawan yang ia hormati?


(1)

Saya mendadak lemas setelah membaca pesan di atas. Tiba-tiba badan saya panas dingin. Jantung saya berdebar lebih keras daripada biasanya. Tenggorok saya kering. Kepala saya pengar. Lutut saya gemetar. Keringat dingin mengucur di dahi dan tengkuk. Bahkan baju di bagian punggung lengket ke kulit. Ini semua gara-gara pesan lewat WA.

Saya terpana. Kehilangan kata. Seluruh kosakata di kepala saya sirna dalam sekejap. Hanya satu yang tersisa. Maaf. Itulah pilihan terakhir untuk saya kirim sebagai balasan kepada pengirim pesan. Beliau, pengirim pesan itu, seorang sastrawan. Pengarang tenar yang selama ini saya anggap sebagai guru, ayah, dan abang di perantauan.

Mengapa saya bisa sebegitu ceroboh saat menulis nama sang guru? 

Jika ingin berkilah, saya bisa memilih alasan jitu. Saat itu saya tengah berduka sehingga mata saya kurang awas mengeja nama. Tidak. Itu pembenaran yang membabi buta. Salah, ya, salah saja. Buat apa bawa-bawa duka. Pada dasarnya kesalahan saya memang sangat fatal, karena nama yang salah tulis itu tertera pada judul artikel.

Baiklah saya bongkar saja aib itu. Tiga hari lalu saya menganggit obituari. Guru, ayah, sekaligus sahabat saya mangkat. Judulnya apik. Setelah Hujan Bulan Juni: Obituari Sapardi Joko Damono. Salahnya di mana? Djoko. Bukan Joko. 

Tangkapan layar judul artikel saya yang keliru nama
Tangkapan layar judul artikel saya yang keliru nama
Uniknya, tidak satu pun kesalahan serupa terjadi di dalam artikel. Hanya salah tulis di judul artikel. Masalahnya, judul lebih dulu terbaca dibanding isi artikel.

Fucek! Saya jengkel banget. Kesal sekali. Sangat dongkol. Saya jengkel banget karena teledor. Saya kesal sekali karena ceroboh. Saya sangat dongkol karena sembrono. Saya marah kepada diri sendiri. Khrisna, itu hal paling goblok yang pernah kamu lakukan. 

Saya juga sempat jengkel kepada Admin Kompasiana. Mestinya mereka mengedit dulu kesalahan itu baru mencantumkan label Artikel Utama. Rasa-rasanya saya ingin mencari Mas Kevin, Mas Harry, atau siapa saja yang mengelola tulisan di Kompasiana, lantas menimpakan kesalahan itu kepada mereka. Lo, artikel keliru judul kok dipilih jadi artikel utama. Itu sembrono, ceroboh, dan teledor. 

Akan tetapi, admin Kompasiana tidak bersalah apa-apa. Itu murni kesalahan saya. Salah mesti mengaku salah, bukan sibuk mencari kambing hitam.

Saya juga sempat kepikiran mendamprat pembaca. Kenapa bisa seorang pun di antara 1000 lebih pembaca tidak menyadari kesalahan itu? Apakah mereka tersihir oleh tulisan saya sampai kesalahan fatal bisa luput dari pandangan?

Hanya saja, saya sadar bahwa pembaca tidak bersalah apa-apa. Lagi pula, seorang pembaca sudah mengingatkan dan menunjukkan kesalahan saya. Fardu kifayah. Satu orang mengingatkan, pembaca lain sudah gugur kewajibannya.

(2)


Salah tulis nama bukanlah perkara enteng. Dalam urusan hukum, salah tulis nama tidak mengandung cacat atau Obscuur Libel. Salah tulis nama masih tergolong kesalahan pengetikan (clerical error) yang masih bisa dimaklumi.

Meski begitu, saya tetap tidak enak hati. Bayangkan, nama Pak Sapardi kerap disingkat SDD. Apabila judul artikel saya yang dijadikan patokan, inisial beliau berubah menjadi SJD. Saya makin getol misuh-misuh pada diri sendiri. Rasakan, Khrisna. Begitu berkali-kali. Tidak mungkin misuh-misuh itu saya tukar dengan "rasakan admin Kompasiana".

Bayangkan apa yang akan kamu rasakan andai kamu berada di posisi saya. Mungkin akan menganggap itu hal biasa, karena tiap-tiap manusia bisa melakukan kesalahan. Mungkin juga memaafkan diri sendiri, kemudian menghibur hati dengan kalimat klise. Yang lalu biar berlalu, misalnya. Saya tidak bisa bersikap seperti itu. Memaafkan diri sendiri itu pekerjaan luhur. Saya juga tidak sanggup berkata seperti itu.

Lebay? Tidak. Salah tulis nama orang lain tergolong "perbuatan tidak menyenangkan". Dalam hal ini, saya sudah melakukan sesuatu yang tidak pantas atau niryukti (yukti berarti pantas). Semua bentuk rasa itu bermuara pada "perasaan tidak enak".

Di sini letak masalahnya. Tidak ada standardisasi yang mengatur kapan sesuatu disebut enak, lumayan, atau tidak enak. Cita rasa setiap orang berbeda-beda. Persis seperti takar pedas, sedang, atau tidak pedas kalau kita memesan rujak. Setiap pembeli punya standar masing-masing. Bahkan derajat pedas di lidah penjual dan pembeli saja bisa berbeda.

Begitu juga dalam urusan sepeda motor. Standar orang berbeda-beda. Ada yang suka standar ganda, ada yang senang standar satu. Nah!

(3)


Rasa bersalah itu sulit saya sembuhkan dengan menggunakan kalimat sakti Shakespeare, "Apalah arti sebuah nama."

Semua nama ada artinya. Pabichara pada nama saya, misalnya, berarti 'juru runding'. Bukan 'jago bicara'. Itu jabatan mentereng pada era kerajaan di nusantara, walaupun sering membuat beberapa orang salah tulis. 

Selepas menganggit novel Sepatu Dahlan, makin banyak orang yang keliru menulis nama saya. Kadang Khrisna ditulis Krishna dengan posisi /h/ setelah /s/. Kadang juga Pabichara ditulis tanpa huruf /h/ setelah /c/.

Hal serupa pernah dialami oleh pesepak bola masyhur dari Swedia, Zlatan Ibrahimovic. Penyerang yang kini bermain di AC Milan itu suatu ketika, saat masih di LA Galaxy, memakai jersi dengan nama di punggung yang salah cetak. Mestinya Ibrahimovic malah Irbahimovic. Untung ia tidak adat-adatan, lalu bermain secara ogah-ogahan.

Zlatan Ibrahimovic merayakan gol (Foto: Twitter/@yuswahyu)
Zlatan Ibrahimovic merayakan gol (Foto: Twitter/@yuswahyu)
Beberapa waktu lalu santer terdengar kabar tentang kesalahan Kak Seto menyebut nama suami Krisdayanti. Seharusnya Raul Lemos, malah Raul Gonzales. Usut punya usut, ternyata akun Youtube yang keliru itu adalah akun palsu alias bodong. Kak Seto sampai kerepotan mengklarifikasi bahwa akun yang keliru itu bukanlah akun milik beliau.

Sebuah majalah ternama di Amerika Serikat, Majalah Vogue, meminta maaf kepada khalayak karena salah menulis nama sosok pada keterangan foto. Seharusnya Noor Tagouri (seorang jurnalis dan aktivis), malah tertera Noor Bukhari (seorang aktris Pakistan). Noor Tagouri merasa sedih dan patah hati. Unggahan klarifikasi di akun instagramnya kontan memantik simpati dari banyak pihak.

Pernah juga ada yang memprotes nama saya. Nama Daeng melanggar kaidah Ejaan Bahasa Indonesia, karena bahasa kita tidak mengenal konsonan ganda /ch/. Saya jawab serius sambil cengengesan. Nama adalah hak prerogatif pemberi dan penerima. Saya tidak mengada-ada. Itu benar.

Bayangkan nasib Bambang Pamungkas kalau harus ganti nama menjadi Bambang Pemungkas, sebab Pamungkas tidak baku menurut KBBI. Bagaimana pula nasib orang-orang yang bernama Putera dan Puteri, sebabyangbakumenurutKBBI adalah Putra dan Putri.

Sekarang coba renungkan nasib orang-orang yang bernama Ramdan atau Ramlan, sebab nama mereka tidak sesuai KBBI (Ramadan) atau bahasa asal (Ramadhan).

Biar bagaimanapun, perbedaan satu huruf saja pada nama di ijazah, tanda pengenal, dan buku nikah bisa berakibat fatal. Alamat pontang-panting mengurus pengubahan nama. Alamat jadi bola pingpong yang harus mondar-mandir ke sana sini. 

Taksir juga berapa kira-kira biaya yang mesti digelontorkan oleh Pemprov DKI Jakarta demi perbaikan nama Glodok dan Grogol. Sebab, menurut KBBI, yang baku adalah gelodok (kotak; peti) dan gerogol (rumah di atas rakit).

(4)


Hari ini mestinya saya bahagia. Setelah empat tahun berteduh di rumah bernama Kompasiana, akhirnya saya akan pindah kamar. Mirip seperti naik kelas. Dari Taruna ke Penjelajah. Itu pencapaian luar biasa karena saya sering ingkar tulis.

Semula saya berniat menggelar syukuran kecil-kecilan. Setidaknya potong tumpeng, kemudian mengundang Kompasianer di Jabodetabek dan Admin Kompasiana. Termasuk Kevin dan Harry. 

Akan tetapi, pesan tentang keliru tulis nama telanjur memberati dan membebani benak saya. Saya telanjur lejar alias sangat penat. Untung sudah saya edit judulnya.

Tangkapan layar judul artikel setelah saya sunting
Tangkapan layar judul artikel setelah saya sunting
Sempat juga terpikirkan untuk menyuguhkan nasi tumpeng virtual, tetapi kemungkinan besar rasanya tiada beda dengan kelas virtual: hambar. [kp]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun