Hanya saja, saya sadar bahwa pembaca tidak bersalah apa-apa. Lagi pula, seorang pembaca sudah mengingatkan dan menunjukkan kesalahan saya. Fardu kifayah. Satu orang mengingatkan, pembaca lain sudah gugur kewajibannya.
(2)
Salah tulis nama bukanlah perkara enteng. Dalam urusan hukum, salah tulis nama tidak mengandung cacat atau Obscuur Libel. Salah tulis nama masih tergolong kesalahan pengetikan (clerical error) yang masih bisa dimaklumi.
Meski begitu, saya tetap tidak enak hati. Bayangkan, nama Pak Sapardi kerap disingkat SDD. Apabila judul artikel saya yang dijadikan patokan, inisial beliau berubah menjadi SJD. Saya makin getol misuh-misuh pada diri sendiri. Rasakan, Khrisna. Begitu berkali-kali. Tidak mungkin misuh-misuh itu saya tukar dengan "rasakan admin Kompasiana".
Bayangkan apa yang akan kamu rasakan andai kamu berada di posisi saya. Mungkin akan menganggap itu hal biasa, karena tiap-tiap manusia bisa melakukan kesalahan. Mungkin juga memaafkan diri sendiri, kemudian menghibur hati dengan kalimat klise. Yang lalu biar berlalu, misalnya. Saya tidak bisa bersikap seperti itu. Memaafkan diri sendiri itu pekerjaan luhur. Saya juga tidak sanggup berkata seperti itu.
Lebay? Tidak. Salah tulis nama orang lain tergolong "perbuatan tidak menyenangkan". Dalam hal ini, saya sudah melakukan sesuatu yang tidak pantas atau niryukti (yukti berarti pantas). Semua bentuk rasa itu bermuara pada "perasaan tidak enak".
Di sini letak masalahnya. Tidak ada standardisasi yang mengatur kapan sesuatu disebut enak, lumayan, atau tidak enak. Cita rasa setiap orang berbeda-beda. Persis seperti takar pedas, sedang, atau tidak pedas kalau kita memesan rujak. Setiap pembeli punya standar masing-masing. Bahkan derajat pedas di lidah penjual dan pembeli saja bisa berbeda.
Begitu juga dalam urusan sepeda motor. Standar orang berbeda-beda. Ada yang suka standar ganda, ada yang senang standar satu. Nah!
(3)
Rasa bersalah itu sulit saya sembuhkan dengan menggunakan kalimat sakti Shakespeare, "Apalah arti sebuah nama."
Semua nama ada artinya. Pabichara pada nama saya, misalnya, berarti 'juru runding'. Bukan 'jago bicara'. Itu jabatan mentereng pada era kerajaan di nusantara, walaupun sering membuat beberapa orang salah tulis.Â
Selepas menganggit novel Sepatu Dahlan, makin banyak orang yang keliru menulis nama saya. Kadang Khrisna ditulis Krishna dengan posisi /h/ setelah /s/. Kadang juga Pabichara ditulis tanpa huruf /h/ setelah /c/.
Hal serupa pernah dialami oleh pesepak bola masyhur dari Swedia, Zlatan Ibrahimovic. Penyerang yang kini bermain di AC Milan itu suatu ketika, saat masih di LA Galaxy, memakai jersi dengan nama di punggung yang salah cetak. Mestinya Ibrahimovic malah Irbahimovic. Untung ia tidak adat-adatan, lalu bermain secara ogah-ogahan.
Sebuah majalah ternama di Amerika Serikat, Majalah Vogue, meminta maaf kepada khalayak karena salah menulis nama sosok pada keterangan foto. Seharusnya Noor Tagouri (seorang jurnalis dan aktivis), malah tertera Noor Bukhari (seorang aktris Pakistan). Noor Tagouri merasa sedih dan patah hati. Unggahan klarifikasi di akun instagramnya kontan memantik simpati dari banyak pihak.