Seberapa hebat sebenarnya tulisan yang diagihkan oleh para Kompasianer di Kompasiana? Jika ukurannya tingkat keterbacaan, saya berani menyatakan bahwa banyak Kompasianer yang berhak diajukan ke barisan narablog keren. Betapa tidak, ada beberapa artikel di Kompasiana yang dikerubuti oleh puluhan ribu pembaca. Meski begitu, tidak semua genre tulisan dan Kompasianer di Kompasiana bernasib semujur itu.
Akan hal kualitas tulisan, saya tidak dapat menilai secara serius. Apalagi mempertanggungjawabkannya secara ilmiah. Beda halnya jika penilaian itu saya lakukan serampangan atau asal-asalan, saya dapat secepat kilat melihat lubang atau borok satu tulisan. Cukup dengan menilik keterpenuhan aspek gramatikal, ketercapaian gagasan, dan keterserapan pesan. Namun, satu tulisan jelas tidak mewakili keseluruhan tulisan yang terpajang di blog keroyokan ini.
Dalam pada itu, saya mesti memenuhi janji saya kepada kolega Kompasianer. Bagaimanapun, saya sudah melontarkan kritik tentang betapa banyak Kompasianer yang keteteran menguraikan gagasan dan memburaikan pesan. Tulisan seperti mobil tua yang mulai empot-empotan dan enjot-enjotan.Â
Beberapa Kompasianer seperti bocah penasaran yang ingin pamer ketangkasan bersepeda, padahal angkat ban pun belum becus. Maaf, saya tidak bermaksud menghina atau mengkritik dengan kasar. Sungguh, saya tidak berniat seperti itu.
Lagi pula, kebanyakan di antara kita menulis di Kompasiana bukan untuk maksud yang serius-serius banget. Ada yang sekadar ingin merintang waktu, ada yang sebatas menuang keluh, ada yang semacam mengasah otak belaka agar tidak terserang demensia. Meski begitu, ada juga yang bersungguh-sungguh menulis sampai-sampai bakbikbuk cari rujukan sebagai bahan pengaya gagasan.
Mohon maaf, saya tidak akan menyebut nama sebagai contoh soal. Kita semua tentu bisa bercakap-cakap dengan hati sendiri terkait apa topik yang akan saya kupas, apa tujuan saya memilih topik tersebut, siapa yang akan membaca tulisan saya, bagaimana bentuk tulisan yang saya pilih, dan dari mana materi pengaya gagasan bisa saya dapatkan. Atau, jangan-jangan kita termasuk kaum masokis yang menyiksa diri sendiri: menulis saja tanpa jelas bingkai tema yang akan kita babar.
Sah-sah saja jika Anda tergolong kawanan yang berlindung di balik semak "tiba masa tiba akal". Selama Anda punya kecerdasan gramatikal, mampu menguras gudang kosakata di kepala, serta mahir merangkai kata, frasa, klausa, kalimat, dan alinea, Anda tidak perlu cemas akan berakhir di gang buntu. Beda halnya jika kecerdasan gramatikal Anda bahkan tidak mencapai cukup, boleh jadi ide yang melintas saat Anda berak di kakus mendadak hilang begitu Anda menyentuh laptop.
Nah, itulah gunanya Anda membaca tulisan receh ini. Selamat bertualang!
Faedah Kata Sambung Intrakalimat
Dalam satu kalimat, kita harus pintar-pintar memilih dan merangkai kata. Misal kita ingin bercerita tentang ingatan atas mantan saat bersandar di tembok kosan. Ini kosakata kita: dinding, kamu, kita, tahukah, perasaan, begitu, bersisian, kesepian. Contoh hasil: Tahukah kamu bagaimana perasaan dinding, yang begitu kesepian, karena kita tidak pernah lagi bersisian dan bersandar kepadanya?
Kata yang saya cetak tebal adalah konjungsi atau kata sambung atau kata penghubung. Kata-kata itu menjadi jembatan tempat makna dan pesan menyeberang dari kata ke kata. Konjungsi itu berada dalam satu kalimat. Itu sebabnya disebut konjungsi intrakalimat.Â
Tanpa kehadiran konjungsi, kiriman makna dan pesan dari penulis kepada pembaca akan sulit terjadi. Apabila Anda jago menata kata sambung, jaka sembung tidak nyambung pasti terhindarkan.
Bagaimana kalau Anda tidak mahir menggunakan kata sambung? Tidak perlu panik. Dari SD hingga SMA kita dijajah pilihan ganda, tidak heran kalau kita terbiasa memilih apa yang terbaca oleh mata saja. Bahkan mungkin saja kita kedodoran jika ditodong pertanyaan tentang perbedaan dan dengan atau. Padahal, sederhana. Dan menandai 'hubungan penambahan', sementara atau menandai 'hubungan pemilihan'.
- Kamu dan aku saling meninggalkan, kenangan dan harapan saling menanggalkan.
- Kamu atau aku yang pergi, kita hanya bisa menjadi kenangan.