"Jika kalian berhenti menulis, apa sapaan yang kalian inginkan? Apakah eks atau bekas atau mantan penulis?"
(1)
Pertanyaan di atas hanyalah gugatan reflektif sekaligus gerutuan retoris yang jawabannya tidak perlu kita umbar ke mana-mana. Pertanyaan tersebut saya ajukan kepada 50 peserta Workshop Writerpreneur pada 26 Juni 2019 di Hotel Royal Padjadjaran, Bogor.
Gugatan reflektif karena peserta yang mengikuti pelatihan merupakan hasil saringan dari sekisar 500-an pendaftar. Jika 50 penulis terpilih itu tidak bersungguh-sungguh menulis berarti mereka telah menganiaya 450-an orang yang tersisih.
Gerutuan retoris sebab pertanyaan tersebut membutuhkan "pencarian jawaban hingga ke dasar sanubari" dan jawabannya akan bersifat sangat pribadi. Orang lain tidak perlu tahu atau tidak harus tahu. Cukuplah jawaban itu diketahui oleh si penanya dan dijadikan azimat sepanjang bertualang di jalan kepengarangan.
Masalahnya, menulis merupakan pekerjaan habis-habisan yang masa baktinya tak habis-habis. Jika seorang tentara purnabakti, ia akan dinamai purnawirawan. Ketika seorang pegawai pemerintahan purnabakti, ia dapat disebut pensiunan. Baik purnawirawan ataupun pensiunan mendapat imbalan pensiun hingga mereka tinggalkan dunia fana ini.
Bagaimana dengan penulis? Maaf, tidak ada masa bakti. Penulis tidak dibatasi masa berkaryanya, misalnya hingga usia 55 tahun. Penulis juga tidak akan mendapat tunjangan pensiun, sekalipun dapurnya sekarat bukan kepalang. Maka dari itu, tidak ada purnawirawan penulis atau pensiunan penulis. Dengan demikian, tidak ada mantan penulis, eks penulis, atau bekas penulis.
Pendek kata, pekerjaan penulis adalah menulis. Manakala seorang penulis berhenti menulis berarti ia bukan lagi penulis, melainkan seseorang yang pernah menulis. Sudahlah tak mendapat tunjangan pensiun, tak cocok pula disemati gelar purnawirawan atau pensiunan. Sial!
(2)
Badan Ekonomi Kreatif, selanjutnya saya singkat Bekraf, yang menggelar kegiatan menarik dan asyik itu. Bayangkan! Jarang-jarang penulis "dihotelkan", disuguhi bekal ilmu kepenulisan selama empat hari, dan diwajibkan punya rancangan buku yang siap diterbitkan selepas pelatihan.
Adakah pelatihan menulis yang tidak menakik "hasil akhir" sebagai sasaran kegiatan? Tidak sedikit. Ada pelatihan selama tiga hingga empat hari, berbayar jutaan rupiah, yang demikian bombastis menggunakan garansi "pasti jadi penulis", tetapi hasilnya jauh dari harapan.
Sekalipun peserta yang dipilih harus punya sedikit-dikitnya tiga buku yang sudah terbit, mereka tetap diwajibkan menghasilkan buku baru. Wajib berarti harus. Tidak boleh tidak mesti bikin buku meski otak keleyengan.