Pada akhirnya, orang yang khilaf lalu melontarkan ucapan-ucapan pedas tanpa dasar analisis atau evaluasi, apalagi dilakukan berulang-ulang, lebih patut disebut nyinyir. Mengapa? Sebab dilakukan atas prinsip yang penting mencerocos. Nyinyir dulu, konfirmasi belakangan.
Ketiga, ada pertimbangan. Kritik dalam KBBI berarti kecaman, tanggapan, atau kupasan yang kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu pendapat atau hasil karya.Â
Dengan demikian, kritik niscaya menyertakan pertimbangan baik dan buruk atas suatu pendapat atau hasil karya. Apakah menyerukan pengerahan massa secara tidak konstitusional sudah menyertakan pertimbangan baik dan buruk? Adakah mengejek dan mengancam akan memenggal leher Presiden RI telah melewati pertimbangan matang?Â
Tidak ada yang melarang kita untuk mengecam sesuatu, asalkan disertai dengan uraian mengapa sesuatu yang dikecam itu disebut buruk. Jika tidak, bisa-bisa menjadi fitnah. Apabila terkait sosok, jadinya malah pencemaran nama baik. Patut dicamkan, mengecam berarti menilai sesuatu. Penilaian seperti apa yang melahirkan cacian dan ancaman? Jawabannya sederhana, penilaian atas dasar benci.
Demikianlah tiga rukun yang seyogianya terpenuhi saat kita mengkritik sesuatu. Esensi ketiga rukun tersebut adalah perbaikan, bukan perusakan. Maka dari itu, mengkritik (bukan mengeritik karena konsonan rangkap /kr/ tidak diluluhkan) berarti hasrat untuk meluruskan sesuatu yang diduga bengkok, membenarkan sesuatu yang disangka keliru, atau memperbaiki sesuatu yang ditengarai rusak.
Selanjutnya, orang yang mengkritik disebut pengkritik. Jika kritik lahir dari pakar atau ahli sesuatu, orangnya disebut kritikus. Barisan pengkritik dan kritikus biasanya memiliki pemikiran kritis. Nah, pelan-pelan dulu. Hati-hati. Kritik dan kritis itu berbeda.
Kritis berarti (1) tidak lekas percaya, (2) selalu berusaha menemukan kesalahan atau kekeliruan, dan (3) tajam dalam menganilisis. Apakah semua pengkritik otomatis kritis? Belum tentu. Tidak semua pengkritik itu kritis, sebab banyak pengkritik yang lekas percaya atas sesuatu yang belum tentu benar.
Maaf, saya tidak akan mengajukan contoh bagaimana orang-orang yang dianggap kritis (seperti Fahri Hamzah, Fadli Zon, Rocky Gerung, bahkan Amien Rais) begitu mudah percaya pada kabar penganiayaan Ibu Ratna. Apalagi Bung Fahri begitu berapi-api membela Ibu Ratna dan menyindir (bukan mengkritik) kubu sebelah. Menurut sebagian netizen, itu kabar basi.Â
Saya juga enggan menyorongkan kasus cuitan Ustaz Tengku Zulkarnain saat kasus Rohingya tengah marak. Tengku Zukarnain mengeposkan (bukan memposting) foto anak bayi yang tengah diinjak. Beliau membingkai cuitannya seakan-akan begitulah pembantaian yang terjadi. Padahal hoaks (bukan hoax). Faktanya, foto bayi diinjak yang beliau unggah adalah teknik pengobatan di India. Akan tetapi, itu kabar basi menurut segelintir warganet.
Lantas contoh apa yang akan saya ajukan? Punten, biarlah warganet mencari sendiri betapa nyinyir acap disangka kritik. Hoaks yang disebar luas saja masih ada yang percaya bahwa itu kritikan. Mungkin otak kita mulai sengklek atau malah sudah somplak. Entahlah.
Hoaks jelas bukan kritik, sebab pada dasarnya hoaks merupakan kabar bohong yang sengaja disebar. Sengaja berarti tidak khilaf atau salah unggah. Nah, penyebar hoaks inilah yang kerap dipanggil polisi dan dibui. Anehnya, mestinya tidak perlu merasa ngeri. Dipanggil Tuhan saja berani, masak dipanggil polisi keder.