Mahabenar netizen dengan segala komentarnya.
Kalimat di atas sengaja saya gunakan untuk membuka tulisan receh ini. Media sosial memang memberikan ruang amat lapang bagi netizen untuk berkomentar sesuka hati. Nyinyir boleh, nyenyeh pun boleh. Menggerundel bisa, menggerunyam pun bisa.
Kadang-kadang ada warganet yang seolah-olah pembuluh nyinyirnya akan meledak jika tidak cepat-cepat mencerocos. Ada pula netizen yang laksana diserang gatal tidak keruan kalau tidak buru-buru menggerutu. Akibatnya, kontrol diri dan kontrol jemari susut sampai tandas.
Warganet yang kehilangan kontrol jemari itu lantas bergumam semau-maunya. Ada yang tersulut pendapat elite, ada yang terbakar pernyataan tokoh, ada juga yang terpanggang guyonan pesohor. Singkat kata, rupa-rupa pemicunya.
Banyak celoteh warganet yang nyeleneh, tidak sedikit pula yang nyelekit. Banyak yang tampak pintar bukan main, tidak sedikit pula yang terlihat bodoh luar biasa. Pendek kata, macam-macam lagaknya.
Ramadan 1440 H, yang baru saja berlalu, sesekali riuh oleh gelak tawa. Suasana kocak tercipta gara-gara komentar netizen yang sok merasa paling benar. Tidak heran apabila ledekan "mahabenar netizen" gencar digunakan.
Likuidasi Jokowi
Pilpres 2019 sangat mujarab dalam memantik hasrat gegabah. Puncak dari rentetan dugaan kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif adalah munculnya keinginan untuk menggugurkan hak salah satu paslon pilpres.
Entah amat cerdas entah sangat pandir, seorang tokoh berseru lantang agar Paslon 01 dicabut haknya sebagai peserta pilpres. Tokoh tersebut menuntut supaya Bawaslu melikuidasi Jokowi. Videonya sempat viral.
Seseorang di dalam video tersebut menceletukkan kata diskualifikasi untuk membenarkan. Alih-alih mengaku keliru, si tokoh malah ngeyel. Sudah salah ngotot pula. Si tokoh berkata, "Likuidasi yang paling tinggi!"
Sebagai pencinta bahasa Indonesia, saya terkakah-kakah. Saya makin terkakak-kakak karena kekeliruan itu dipungkasi teriakan takbir. Ajaib, kan? Tokoh yang keliru kata malah disambut takbir. Pengagungan Tuhan lewat takbir digunakan secara serampangan dan sembarangan.
Mengapa keliru? Baiklah, kita tilik arti likuidasi. Arti singkatnya adalah "pembubaran perusahaan". Pihak yang melikuidasi disebut likuidator. Paslon 01 peserta pilpres, bukan perusahaan yang dapat dibubarkan gara-gara pailit. Bawaslu merupakan badan pengawas penyelenggaraan pemilu, bukan likuidator.
Semua muslim tahu bahwa takbir adalah bentuk pengagungan kita kepada Allah, bukan untuk membesarkan hati tokoh yang keliru berbicara. Kalau keliru, ya, tolong diingatkan. Hanya saja, mental mahabenar telanjur mengerak di batok kepala. Orang yang keliru saja ngoyo terus didukung, apalagi yang benar.Â
Iktikaf Run
Menjelang akhir Ramadan, khususnya malam ganjil, ritual iktikaf merupakan amalan yang penting dilakukan oleh umat Islam.
Tersebutlah seorang tokoh politik, sekaligus cawapres Paslon 02, yang gemar berolahraga. Foto-foto saat beliau mengenakan kostum lari berserakan di media berita daring. Raga pemimpin memang harus sehat, jiwanya juga mesti prima. Berolahraga merupakan salah satu cara untuk menjaga kesehatan raga.
Beliau memang sudah rutin berlari pada malam hari setiap bulan Ramadan. Tahun ini juga begitu. Bedanya, tahun ini beliau mengumandangkan istilah baru. Iktikaf Run. Sontak warganet ricuh. Ada yang memuji, ada yang menguji.
Saya juga urun kicau di Twitter. Bukan karena nyinyir, melainkan karena harapan supaya bahasa Indonesia digunakan dengan tepat. Tidak lebih, tidak kurang. Bagaimanapun, sang tokoh adalah seorang idola. Kesalahan beliau berbahasa dapat memacu kekaprahan.
Terlepas dari makna iktikaf yang lekat dengan "diam" atau "berhenti", beliau menggunakan kata "run". Iktikaf juga kata yang berakar dari bahasa Arab, tetapi sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia. Jika kekeliruan membentuk istilah dibiarkan begitu saja, bisa-bisa beliau mempertebal mental keminggris alias sok nginggris atau keinggris-inggrisan.
Televisi milik orang Indonesia, penyiar dan pegawainya orang Indonesia, siarannya berbahasa Indonesia, penontonnya juga orang Indonesia, tetapi nama acaranya berbahasa Inggris. Mal di Indonesia, pengunjungnya kebanyakan orang Indonesia, tetapi nama malnya berbahasa Inggris. Sedih, kan?
Lagi pula, iktikaf dan run laksana air dan minyak. Susah disatukan, sukar dipadukan. Yang pertama tidak meninggalkan tempat, yang kedua harus banyak bergerak. Memang sang tokoh sudah menjelaskan bahwa makna iktikaf run adalah "berlari ke tempat iktikaf". Sampai di masjid napas ngos-ngosan dengan bonus keringatan.
Beda perkara jika arti dari iktikaf run adalah "diam-diam lari" atau "lari diam-diam".Â
Infrastruktur Senam
Istilah ini dicuatkan seorang warganet di Twitter. Maaf, saya tidak akan menyebutkan nama akunnya. Anda bisa temukan dengan cara menggunakan fasilitas pencarian kata. Saya hanya berniat mengudar artinya.
Kita berangkat dari pangkal soalnya dulu. Kaesang (lagi-lagi Kaesang) dianggap salah kostum. Kaus ketatnya memperlihatkan tonjolan otot, sedangkan celana jinnya (bukan jins-nya atau jeans-nya) menunjukkan lekukan bokong.
Rupa-rupanya hati dan jemari si netizen gatal. Ia mengatakan bahwa baju Kaesang sangat ketat dan tidak cocok dipakai melayat. Lebih jauh, si netizen menyatakan bahwa baju seperti itu hanya cocok digunakan oleh infrastruktur senam.
Semula saya mengira sayalah yang gagal paham. Saya juga sempat menyangka si netizen sebatas bercanda. Ternyata tidak. Beberapa cuitan doi menunjukkan bahwa ia memang konsisten bodoh. Barangkali karena bodoh gratis sehingga ia kemaruk memborong seluruh bodoh yang ada di muka bumi. Barangkali!
Maaf, saya tidak kasar. Ini gaya saya yang acap satire. Bukan satir, ya, karena maknanya berbeda.
Kita kembali pada infrastruktur senam. Jika yang dimaksud si warganet ialah "bangunan tempat bersenam", penggunaan infrastruktur sudah tepat. Lain halnya kalau yang doi maksud adalah "orang yang mengajarkan senam", maka yang tepat adalah instruktur senam.Â
Sayangnya, doi mengulas pakaian yang cocok dipakai oleh instruktur senam. Itu memastikan bahwa ia keliru memakai kata. Mirip dengan kasus tokoh yang menyerukan likuidasi Jokowi. Sebenarnya tidak apa-apa, sebab dongok adalah hak setiap orang.
Untung Kaesang (lagi-lagi Kaesang) punya selera humor recehan. Persis saya. Kontan ia ubah biodata di akun medsosnya. Di sana tertera: Infrastruktur Senam. Kaesang memang suka bikin gara-gara. Maafkan adik saya. Begitu maklumat Gibran.
Dubling
Demi menanggapi satu cuitan, seorang warganet menunjukkan hobi keminggris-nya. Dubling, katanya. Saya tidak akan memajang akun Twitter si warganet tersebut. Ogah. Nanti dia kalian ikuti, sementara akun saya tidak. Hahaha.
Editan ini. Mulut dan dubling suara tidak sama. Dipelintir. Dasar cebong dungu.
Lekas-lekas saya buka kamus bahasa Inggris. Di situ saya sadar bahwa kamus saya tidak ada yang lengkap. Tidak satu pun kamus yang memuat kata dubling. Akan tetapi, saya tidak berkecil hati. Saya tanya Paman Google. Hasilnya sama saja. Nihil. Di situ saya merasa dungu karena salah beli kamus dan punya paman yang gagap tanggap.
Kemudian, saya hibur diri sendiri. Barangkali yang dimaksud si netizen adalah Dublin, nama ibu kota sebuah negara di Eropa, tetapi beliau telanjur memencet tombol huruf 'g'. Saya yakin, beliau pasti tidak keliru kata. Alasan saya sederhana. Tidak mungkin seseorang yang dungu berani-berani mendungukan orang lain yang belum tentu dungu.
Meski begitu, hati kecil saya membantah. Penjual sate pasti berteriak "sate". Jadi, ada kemungkinan orang yang mendungukan orang lain adalah orang dungu. Faktanya, memang ada segelintir orang yang ingin disangka pintar dengan cara mendungukan orang lain. Tolong dicamkan, hanya segelintir.Â
Pada Akhirnya
Begitulah. Telah saya uraikan fenomena berbahasa dan berkomentar di media sosial. Ini tulisan receh. Anggap hiburan saja selagi Anda sibuk memburu maaf dan beranjangsana pada suasana Lebaran.
Meski begitu, saya serius membahas hal sereceh atau seremeh ini. Saya percaya bahwa harus ada orang yang serius mengupas soal-soal kebahasaan. Tujuannya demi merawat bahasa Indonesia.
Jadi, jangan marah-marah jika tulisan ini tidak cocok dengan harapan atau pendapat Anda. Daripada marah-marah lebih baik ramah-ramah. Oke? Sip! [khrisna]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H