Tersebutlah kisah seorang samurai di Jepang yang menantang seorang pendeta agar menguraikan konsep surga dan neraka.Â
Sang Pendeta berkata, "Kau hanyalah orang bodoh. Aku tidak mau menyia-nyiakan waktu untuk orang sepertimu."
Si Samurai tersinggung. Ia hunus pedangnya. "Aku dapat membunuhmu karena kamu kurang ajar!"
Dengan tenang Pendeta menjawab, "Itulah neraka!"
Si Samurai terkesima. Ia dikuasai oleh ketakjuban, kelembutan, dan ketenangan sang Pendeta. Ia sarungkan pedangnya yang sempat tertahan di udara.
"Itulah surga," ujar sang Pendeta.
Mengasah Kecerdasan Emosional
Kisah di atas, dituangkan oleh John W. Groff dalam Chicken Soup for The Soul (2002), bukan sekadar cerita tentang keberangasan Samurai dan ketenangan Pendeta. Ada hikmah yang dapat kita petik.
Kecerdasan Emosional. Itulah makna yang tersembunyi dalam kisah di atas. Jika ingin menemukan kilaunya maka kita harus turun ke lumpur dan mencari mutiara. Dengan kata lain, kecerdasan emosional mesti diasah dan diasuh.
Sang Pendeta menunjukkan cara mengelola emosi, strategi memahami perasaan orang lain, dan bagaimana cara bertindak sigap bahkan dalam kondisi kritis. Ia tidak keder melihat bilah pedang. Ia tidak gamang melihat samurai pemberang. Ia kelola emosinya dengan baik.
Terkait kecerdasan emosional, dalam Emotional Intelligence (1996), Daniel Goleman menegaskan bahwa kecerdasan akademis praktis tidak menawarkan persiapan untuk menghadapi gejolak--atau kesepakatan--yang ditimbulkan oleh kesulitan-kesulitan hidup.
Dari pengalaman sang Pendeta dapat kita simpulkan bahwa kemampuan mengelola emosi merupakan kebutuhan mutlak bagi setiap orang. Rakyat dan pejabat, polisi dan politisi, semuanya harus cerdas mengelola emosi. Atasan dan bawahan, junjungan dan penjunjung, semuanya butuh kecerdasan emosional.