Indonesia berduka. Ibu Ani Yudhoyono berpulang ke rahmatullah. Beliau mangkat setelah berjuang melawan serangan kanker darah.Â
Namun, tulisan ini tidak akan mengudar kegigihan Ibu Ani melawan penyakit. Tidak pula untuk mengulas kesetiaan Pak SBY menemani beliau selama berobat di Singapura. Saya akan membabar obituari buat beliau dalam tulisan berbeda.
Kali ini saya ingin menyingkap gejala maraknya ungkapan kebencian di media sosial. Ungkapan itu membanjir tanpa kenal musim dan suasana. Belum surut duka atas kematian Ibu Ani, ungkapan kebencian terus mengemuka. Selagi orang-orang menyatakan belasungkawa, ada saja yang mengumbar "benci".
Kaesang Pangarep pangkal soalnya. Putra bungsu Pak Jokowi itu datang melayat di Masjid KBRI Singapura. Busananya dianggap tidak patut oleh segelintir warganet. Meskipun ikut antre bersama pelayat lain dan santun dalam tindak laku, semuanya belum cukup untuk membendung nyinyir para pembencinya.
Tidak dapat dimungkiri bahwa sebagian di antara kita masih terjebak pada penampilan luar. Sesantun apa pun seseorang, selama dituding salah kostum, cibiran tetap menerpa.
Beda perkara apabila busana kita megah dan mewah. Petantang-petenteng pun akan dipuja. Beda soal pula jika yang salah kostum saat melayat berasal dari golongan yang sama. Nyinyir reda, cibir tiada. Â
Antara Benci dan Cinta
Dalam Group of Psychology and The Analysis of The Ego (1922), Sigmund Freud menyatakan bahwa meraih cinta harus dilakukan dengan cara membenci orang lain.
Jika memakai rumus cocok-cocokan, teori tersebut pas diterakan kepada pihak yang menyinyiri celana jin Kaesang. Akibat cinta kepada Prabowo, segala-gala yang berbau Jokowi niscaya dibenci. Sementara itu, aroma Jokowi dalam sosok Kaesang jelas sangat kental. Jadilah ia target ungkapan kebencian.
Pada sisi lain, Erich Fromm--seorang sosiolog--membantah teori Freud. Dalam bukunya, The Art of Loving (1956), Fromm menandaskan bahwa cinta harus menghadirkan rasa hormat, tanggung jawab, perhatian, dan menyuburkan ilmu pengetahuan.Â
Dengan kata lain, cinta tidak boleh diraih dengan cara membenci atau mengorbankan orang lain, sebab cinta seperti itu sangat naif dan egois.