Setelah Juventus, Manchester United, dan Manchester City keok di kontestasi Liga Champions UEFA, mendadak banyak orang yang keranjingan memasak. Sayang sekali, hanya goreng-menggoreng.
Tidak sedikit orang yang menaksir Ajax Amsterdam bakal tersingkir di babak perempat final. Alasan mereka jelas, Juventus punya keuntungan gol tandang. Cukup menang 1-0 maka Juventus meloncat ke semifinal.
Ketika pertandingan usai, Ajax kembali menggegerkan rimba sepak bola. Sejarah kalah kandang dan menang tandang kembali terulang. Peristiwa heroik kala melawan Real Madrid terulang ketika menghadapi Juventus. Jadilah Ajax ke semifinal, sedangkan Juventus menangisi nasib.
Tidak sedikit orang yang meramal Manchester United akan menjungkalkan Barcelona di Camp Nou. Alasan mereka jelas, Setan Merah menundukkan PSG di kandang lawan. Cukup menang 2-0 atau 2-1 maka Setan Merah melompat ke semifinal.
Tatkala laga kelar, Setan Merah harus pasrah menerima kenyataan. Tim besutan Solskjaer ini gagal membalikkan kekalahan 0-1 dari Barcelona. Boro-boro menang, tiga gol bersarang di gawang De Gea. Tanpa gol balasan, tanpa perlawanan berarti.
Messi mencetak gol pertama yang indah setelah membikin malu pemain lawan. Gol kedua (masih Messi) dan ketiga (Coutinho) lebih parah. Pasukan Setan Merah bagai sekawanan orang linglung yang bingung menghentikan liukan Messi dan Coutinho.
Tidak sedikit orang yang menujum Manchester City akan membalikkan kekalahan 0-1 di kandang Spurs kala bermain di kandang sendiri. Alasannya jelas, produktivitas gol City sangat mentereng. Belum lagi pengalaman pelatih City, Pep, yang dijuluki Pelanggan Semifinal. Selain itu, Pep meraih juara Liga Champions baik sebagai pemain maupun pelatih.
Prediksi itu nyaris terjadi. Skor 4-2 sudah cukup bagi City untuk melangkah ke semifinal. Takdir berkehendak lain. Spurs menambah satu gol. Skor menjadi 4-3 dan City menang. Maaf, menangis. Tragis sekali nasib City karena menang di laga kedua, tetapi kalah agresivitas gol tandang.
Kenyataan memang kerap berseberangan dengan harapan. Berharap cinta berakhir di pelaminan, ternyata kandas di tengah jalan. Berharap duduk manis di Senayan sebagai anggota dewan, ternyata nangkring di rumah sakit jiwa akibat depresi. Oh!
Umat pendukung yang tidak sedikit itu, sebenarnya, sadar bahwa hasil akhir kadang tidak sesuai dengan harapan. Sudah merawat cinta selama bertahun-tahun, tahu-tahu yang dicintai ternyata jodoh orang lain. Dengan kata lain, prediksi bisa meleset. Hasil akhir hanya menyuguhkan dua pilihan, yakni taksiran jitu atau tebakan keliru.
Di sini terlihat betapa pentingnya strategi bermain dirancang seterperinci mungkin. Kekalahan sudah terjadi. Tidak mungkin duel ulang digelar. Kalaupun diulangi, belum tentu kemenangan akan pindah ke tangan tim yang sekarang tersingkir.
Dalam suasana pilpres yang masih hangat, setiap kandidat mesti menyadari bahwa pasti ada kemungkinan perkiraan raihan suara meleset dari taksiran. Bisa menang bisa kalah. Kalau menang harus tahu bagaimana bersikap, kalau kalah harus paham tindakan apa yang mesti dilakukan.
Juventus, Manchester United, dan Manchester City terpaksa mengubur mimpi. Di sinilah bermula aksi goreng-menggoreng itu. Sang Pelatih Setan Merah membesarkan sekaligus mengecilkan perjuangan anak asuhnya. Sky Sports melansir bahwa butuh beberapa tahun lagi barulah MU bisa mencapai level Barcelona.
Membesarkan hati pemain adalah strategi komunikasi pelatih agar perih kekalahan tidak mematikan harga diri pemain. Di sisi lain, Solskjaer mengecilkan kerja keras Pogba dan kolega. Solskjaer, secara tersirat, sebenarnya merendahkan harkat para pemainnya. Belum selevel, begitu esensinya.
Sebagaimana Solskjaer selaku peimpin di Setan Merah, Prabowo juga pucuk dari kubu paslon 02. Semua yang bernama pucuk pasti mudah diterpa angin. Bukankah makin tinggi pohon makin kencang angin yang menerpanya? Pada titik ini, Prabowo tampil di podium untuk menyenangkan hati pendukung. Dipilihlah menang sebesar 62% sebagai obat pelipur.
Sadar tidak sadar, Prabowo tengah mengerdilkan dirinya sendiri. Sikap negarawan yang kerap beliau sampaikan secara vulgar harus ia khianati demi menyenangkan hati pendukung.Â
Itu tafsir satire. Tafsir lain bisa bermunculan dengan corak beragam. Pendukung akan menyebut sujud syukur sebagai sikap jantan, yang tidak mendukung mungkin menganggap sujud syukur itu sebagai hiburan konyol.
Solskjaer menganggap MU bak bayi yang baru belajar berdiri di hadapan Barca. Hal itu memperlihatkan respek pelatih kepada kubu lawan, sekaligus memperjelas kegagapan MU dalam menghadapi Barcelona. Masalahnya, belum tentu prestasi Barcelona mandek  beberapa tahun mendatang. Dengan kata lain, Solskjaer masih punya sisi sportif karena mengakui keunggulan lawan.
Tidak berbeda jauh dengan Solskjaer, Allegri juga ripuh menggoreng narasi demi menutupi aib. Pelatih Juventus itu tidak ingin mendudukkan kekalahan di kursi kegagalan. Dalam konferensi pers seusai laga, ia mengeluhkan kondisi pemainnya. Ia juga menyatakan bahwa Ronaldo memang sudah memberikan segalanya, tetapi pemain lain pun harus tampil maksimal.
Mau tidak mau, Allegri mesti mencari kilah agar tidak terlihat salah-salah amat. Jadilah kebugaran pemain sebagai perisai. Jadilah penampilan pemain sebagai tameng. Ada kilah di situ. Ada alasan di situ. Ada kilah atau alasan untuk menghibur dan membela diri.
Meski begitu, Allegri mengakui kemenangan lawan. Pelatih Juventus itu menjunjung tinggi sportivitas. Ia tidak menuding ada kecurangan, wasit berat sebelah, atau lawan main kasar. Tidak. Ia menyalahkan sisi teknis dalam timnya, bukan melemparkan kambing hitam ke pengadil atau kubu lawan.
Nasib Pep dan anak asuhnya sedikit berbeda. Kekalahan mereka sangat menyesakkan. Bayangkan. Menurut pemain City, gol ketiga Spurs mestinya dibatalkan. Florente terlihat seperti menggunakan tangan untuk membelokkan arah bola ke dalam gawang City. Wasit bersikukuh menyatakan gol sah.Â
Kemudian tersajilah drama yang sesungguhnya pada waktu tambahan babak kedua. Sterling mencetak gol kelima dan itu berarti tiket semifinal dikantongi pemain City. Apa daya gol dibatalkan oleh wasit. Berdasarkan pemeriksaan VAR, ada adegan offside sebelum gol terjadi. Mimpi pun buyar. Harapan City kandas di babak perempat final.
Memang Pep menyesali kekalahan tragis yang menimpa timnya, malah sampai mengatakan ini kejam, tetapi ia menerima kekalahan. Demikian kata Pep kepada pewarta dari BBC. Artinya, Pep tetap menjunjung tinggi nilai-nilai sportivitas.
Dalam kehidupan sehari-hari, tidak sedikit penonton atau penikmat sepak bola yang tidak menyerap nilai sportivitas. Menyukai intrik dan drama sepak bola, tetapi mengingkari sportivitas. Begitu cinta kandas di tengah jalan, kesalahan mantan segera dicari-cari. Kesalahan itu diumbar ke mana-mana bak orang kesetanan, tetapi kesalahan sendiri tidak mau diakui.
Dalam kehidupan sehari-hari, banyak penonton sepak bola yang abai pada esensi sepak bola. Kekalahan merupakan hal yang biasa, kendatipun bikin ngilu hati. Banyak di antara kita yang kalah bersaing dan bersegera mencari kambing hitam. Banyak di antara kita yang luput berlapang dada ketika sesuatu yang kita dukung atau bela kalah dalam satu pertarungan. Banyak!
Begitulah faktanya. Lihat pilpres di negara kita, misalnya. Kaum elite condong mengingkari kekalahan dan membingkai narasi yang membingungkan. Kesalahan lawan dicatat, kesalahan sendiri dihapus. Perhitungan suara cepat yang tidak sesuai harapan dilepeh, perhitungan suara tim sendiri diagul-agulkan dan diagung-agungkan.
Cinta berlebihan pada diri atau kubu sendiri telah membutakan mata. Belum apa-apa sudah bersujud syukur. Sujud syukur memang perlu sebagai ungkapan terima kasih kepada Tuhan, tidak peduli kalah atau menang, sebab itu wujud kepatuhan hamba kepada penciptanya. Sah-sah saja. Namun, sujud syukur karena memastikan diri sudah menang bagai menancapkan duri di pupil mata.Â
Mari tenangkan hati dan sejukkan pikiran. Kalau bisa, jernihkan dan sehatkan pikiran. Jangan meminta pendukung agar bersabar menunggu perhitungan akhir dari KPU, tetapi mengklaim diri sudah menang. Bukan menyatakan diri sebagai patriot yang cinta tanah air, tetapi melempar ancaman akan menggerakkan kekuatan rakyat.Â
Akibatnya bisa dilihat secara kasat mata. Alumni "Universitas Monas" 212 berencana menggelar syukuran besok di pelataran kampusnya. Alih-alih mengingatkan umat untuk menahan diri, banyak tokoh yang justru menyulut api selisih. Alih-alih mengingatkan Pak Prabowo untuk bersabar, malah ingin berbondong-bondong merayakan sesuatu yang belum pasti.Â
Bagaimana nanti kalau ternyata perhitungan manual KPU menunjukkan bahwa Prabowo kalah? Kasihan Pak Prabowo, dua kali sujud syukur dua kali kalah. Akan tetapi, ah, cinta memang kerap mengangkangi sportivitas.
Bagaimana dengan Porto? Jelas benar bahwa wakil Portugal itu kalah segala-galanya dibanding Liverpool. Jika dunia belum kiamat, musim depan Porto bisa maju lagi. Begitu pula dengan Juventus, MU, dan City. Jangan berhenti berharap.
Bagaimana dengan cinta yang kandas? Jangan putus asa. Hidup hanya sekali, jatuh cinya bisa berkali-kali. Bagaimana dengan Pak Prabowo? Jangan menyerah. Pilpres 2024 bisa maju lagi. Kuatkan barisan, kukuhkan tekad, dan ketatkan semangat juang, kemudian lima tahun mendatang bertarung lagi. Tidak ada batasan untuk menjadi capres, kok. Sepuluh kali juga bisa.
Hanya saja, saya berharap supaya supaya semua pihak menahan diri. Tolong jangan beri tahu Pak Prabowo kalau masih ada pilpres pada 2024 nanti. [khrisna]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H