Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Duka Madrid Duka Alam

7 Maret 2019   01:32 Diperbarui: 7 Maret 2019   04:28 753
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perseteruan dua kapten, Lionel Messi (Barcelona) dan Sergio Ramos (Real Madrid) | Sumber foto: The Indian Express/AP Photo

Alam sedih. Pagi-pagi ia sudah menangis. Air matanya deras sekali. Real Madrid gara-garanya. Setelah dua kali ditabok oleh Barcelona di Bernabeu, Rabu dinihari Los Blancos, selanjutnya saya sebut Serdadu Putih, ditampol empat gol oleh Ajax Amsterdam.

Tidak ada yang harus diragukan dari Real Madrid. Klub kebanggaan Madridista, sebutan bagi pencinta Real Madrid, sudah merengkuh 13 gelar juara Liga Champions UEFA. Kurang lebih 60.000 penonton yang memadati Stadion Olimpiyskiy Kiev, Ukraina, menyaksikan keperkasaan Serdadu Putih saat melumat Liverpool dengan skor 3-1.

Hadiah 13 gelar jawara se-Eropa bukan prestasi biasa. Jadi, nikmat mana yang akan didustai oleh Madridista?

Belum ada klub sepak bola lain yang dapat menyamai capaian Real Madrid. Jangankan menyamai, mendekati saja tidak ada. Bahkan rival bebuyutan, Barcelona, baru memajang lima piala Liga Champions UEFA di etalase trofinya. Maka dari itu, nikmat mana yang akan diingkari oleh Madridista?

Bahwa prestasi merosot sepeninggal Zinedine Zidane, pelatih fenomenal dengan raihan 9 piala dalam rentang dua setengah tahun, itu benar. Akan tetapi, itu bukan alasan untuk memunggungi Real Madrid dan memungkiri segala-gala yang telah diraih.

Bahwa ketajaman penyerang melorot sepeninggal Christiano Ronaldo, penyerang tertajam sepanjang sejarah klub dari Ibu Kota Spanyol, itu benar. Meski begitu, itu bukan kilah untuk mengutuk tiga kekalahan kandang secara beruntun. Bukankah kalah dan menang merupakan peristiwa biasa yang lumrah terjadi?

Hanya saja, perkara biasa seperti itu dihadapi seolah-olah perkara yang luar biasa. Lihat saja faktanya. Tidak sedikit suporter yang mencemeeh Luka Modric akibat tidak tampil trengginas. Alih-alih membantu klub keluar dari tekanan Ajax, Modric malah keteteran dan terjatuh setelah dikecoh oleh gelandang belia Ajax, Frenkie de Jong.

Padahal, kalau Madridista sudi menelan kenyataan pahit, kejadian sedemikian lazim adanya. Bahwa Modric sekarang menyandang gelar Pemain Terbaik Dunia, bukan berarti ia bakal luput dari kesalahan sepele. Lagi-lagi ada unsur sentimental di sini. Jangan gara-gara de Jong akan menjadi milik Barcelona lantas suporter melupakan jasa Modric.

Alam semakin sedih karena pendukung Real Madrid ternyata tidak setangguh yang ia bayangkan. Alih-alih kesatria mengakui kekalahan, mereka malah mengumpet di got. Alih-alih menghibur Modric dkk., mereka malah menghilang dari riuh linimasa media sosial.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Sekarang mari kita singkap apa yang telah disuguhkan oleh Serdadu Putih bagi para suporter.

Kekalahan pertama di kandang sendiri melawan Barcelona memang menyakitkan. Skor 0-3 pada laga kedua semifinal Copa del Rey jelas memupus harapan Serdadu Putih menuju final. Empat hari kemudian, kekalahan kedua terjadi. Kali ini kalah tipis dengan skor 0-1. Memang bukan kekalahan telak, tetapi menjauhkan kans Serdadu Putih untuk meraih gelar LaLiga 2018-2019.

Sekalipun demikian, Madridista mesti menyadari bahwa roda nasib selalu berputar. Kadang kalah kadang menang. Kadang nirgelar, kadang bergelimang gelar. Itu lumrah. Tidak ada yang mesti ditangisi atau diratapi.

Dengan demikian, mestinya suporter tidak buru-buru mencemooh Modric tatkala ia gagal menjaga Messi. Ia sudah berusaha bahkan sampai menarik baju Messi. Itukah yang dicemooh? Ah, kerdil sekali apabila begitu adanya. Mengapa? Messi memang mahir mengelabui pemain lawan. Gocekannya mautnya malah sempat membuat Boateng, bek Bayern Muenchen, terjengkang dan tumbang.

Tidak perlu pula suporter mencaci Sergio Ramos, sang kapten, akibat permainan kasarnya ketika dikeokkan oleh Barca. Mengapa demikian? Ramos memang bukan spesies bek yang "bersih" seperti Fabio Cannavaro. Ia terbiasa main kasar. Puluhan kartu merah sudah menghiasi kariernya. Bukan hanya Messi, Mohamad Salah juga pernah merasakan tebasan kaki Ramos.

Jadi, tetaplah mencintai Madrid dalam kalah ataupun menang. Masalahnya, beberapa orang di antara kita memang dilahirkan sebagai pemuja kemenangan. Giliran kalah, meradang. Memang manusiawi karena hanya sedikit di antara kita yang diluhurkan dengan ketangguhan merayakan kemenangan.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Coba tilik sejarah. Dalam lima tahun terakhir, Liga Champions UEFA dikangkangi oleh dua klub dari Spanyol. Barcelona meraih satu gelar pada 2015. Empat gelar lainnya menjadi milik Serdadu Putih, yakni pada 2014, 2016, 2017, dan 2018. Artinya, Real Madrid sangat dominan. Bahkan tiga gelar diraih secara beruntun. Ayo, kurang apa lagi? 

Hal serupa terjadi di LaLiga. Dominasi Serdadu Putih sungguh benderang. Belum ada satu klub di Spanyol yang mendekati torehan 33 gelar juara milik Real Madrid. Barcelona selaku pesaing terdekat baru meraih 24 gelar. Klub sekota, Atletico Madrid, baru 10 kali mengangkat trofi Juara LaLiga. Jauh, jauh sekali. Dalam urusan juara kedua pun masih layak diacungi jempol. Sudah 22 kali Serdadu Putih meraih posisi kedua.

Maka dari itu, abaikan saja celoteh orang-orang. Tidak benar bahwa Bernabeu sekarang menjadi tempat berlatih Barcelona. Biar bagaimanapun, Barcelona belum bangkrut sehingga harus meminjam stadion kebanggaan Madridista sebagai tempat latihan. Abaikan saja ledekan itu. Cinta tetaplah cinta. Kekalahan sepahit apa pun tidak akan mengubah cinta menjadi benci.

Lagi pula menimpakan beban berlebihan ke pundak Santiago Solari terang bukan tindakan yang bijak. Zidane tetap Zidane, Solari pasti Solari. Takdir mereka berbeda. Gonta-ganti pelatih juga belum tentu menjamin kemenangan selalu tergenggam. Bahkan sekelas Mourinho juga pernah menjadi bulan-bulanan racikan strategi Pep Guardiola.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi

Alam kian berduka setelah menyadari bahwa sebagian besar suporter Madrid ternyata hanya cinta ketika Madrid bergelimang piala. Giliran keok tiga kali secara beruntun, mereka melengos seakan-akan tidak pernah cinta.

Kalau memang cinta, apalagi mengaku cinta mati, jangan tanggung-tanggung. Entah kalah entah menang harus tetap setia mencintai. 

Jadi, wahai Madridista sedunia dan seakhirat, tetaplah mencintai Real Madrid. Terima tawa terima luka. Rayakan suka rayakan duka. Tegakkan kepala dan kepalkan tangan sambil meneriakkan "halah Madrid". Maaf, mestinya "hala Madrid". [khrisna]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun