Kekalahan pertama di kandang sendiri melawan Barcelona memang menyakitkan. Skor 0-3 pada laga kedua semifinal Copa del Rey jelas memupus harapan Serdadu Putih menuju final. Empat hari kemudian, kekalahan kedua terjadi. Kali ini kalah tipis dengan skor 0-1. Memang bukan kekalahan telak, tetapi menjauhkan kans Serdadu Putih untuk meraih gelar LaLiga 2018-2019.
Sekalipun demikian, Madridista mesti menyadari bahwa roda nasib selalu berputar. Kadang kalah kadang menang. Kadang nirgelar, kadang bergelimang gelar. Itu lumrah. Tidak ada yang mesti ditangisi atau diratapi.
Dengan demikian, mestinya suporter tidak buru-buru mencemooh Modric tatkala ia gagal menjaga Messi. Ia sudah berusaha bahkan sampai menarik baju Messi. Itukah yang dicemooh? Ah, kerdil sekali apabila begitu adanya. Mengapa? Messi memang mahir mengelabui pemain lawan. Gocekannya mautnya malah sempat membuat Boateng, bek Bayern Muenchen, terjengkang dan tumbang.
Tidak perlu pula suporter mencaci Sergio Ramos, sang kapten, akibat permainan kasarnya ketika dikeokkan oleh Barca. Mengapa demikian? Ramos memang bukan spesies bek yang "bersih" seperti Fabio Cannavaro. Ia terbiasa main kasar. Puluhan kartu merah sudah menghiasi kariernya. Bukan hanya Messi, Mohamad Salah juga pernah merasakan tebasan kaki Ramos.
Jadi, tetaplah mencintai Madrid dalam kalah ataupun menang. Masalahnya, beberapa orang di antara kita memang dilahirkan sebagai pemuja kemenangan. Giliran kalah, meradang. Memang manusiawi karena hanya sedikit di antara kita yang diluhurkan dengan ketangguhan merayakan kemenangan.
Hal serupa terjadi di LaLiga. Dominasi Serdadu Putih sungguh benderang. Belum ada satu klub di Spanyol yang mendekati torehan 33 gelar juara milik Real Madrid. Barcelona selaku pesaing terdekat baru meraih 24 gelar. Klub sekota, Atletico Madrid, baru 10 kali mengangkat trofi Juara LaLiga. Jauh, jauh sekali. Dalam urusan juara kedua pun masih layak diacungi jempol. Sudah 22 kali Serdadu Putih meraih posisi kedua.
Maka dari itu, abaikan saja celoteh orang-orang. Tidak benar bahwa Bernabeu sekarang menjadi tempat berlatih Barcelona. Biar bagaimanapun, Barcelona belum bangkrut sehingga harus meminjam stadion kebanggaan Madridista sebagai tempat latihan. Abaikan saja ledekan itu. Cinta tetaplah cinta. Kekalahan sepahit apa pun tidak akan mengubah cinta menjadi benci.
Lagi pula menimpakan beban berlebihan ke pundak Santiago Solari terang bukan tindakan yang bijak. Zidane tetap Zidane, Solari pasti Solari. Takdir mereka berbeda. Gonta-ganti pelatih juga belum tentu menjamin kemenangan selalu tergenggam. Bahkan sekelas Mourinho juga pernah menjadi bulan-bulanan racikan strategi Pep Guardiola.
Alam kian berduka setelah menyadari bahwa sebagian besar suporter Madrid ternyata hanya cinta ketika Madrid bergelimang piala. Giliran keok tiga kali secara beruntun, mereka melengos seakan-akan tidak pernah cinta.
Kalau memang cinta, apalagi mengaku cinta mati, jangan tanggung-tanggung. Entah kalah entah menang harus tetap setia mencintai.Â