Kalau kita berbalik sejenak pada tumpuan judul, maka "produk rezim intrik" adalah pelor yang ditembakkan si bujangga (kata antik yang bersinonim dengan pujangga) kepada orang-orang yang dituding olehnya sebagai pelaku "dagelan vulgar".
Siapakah pelaku dagelan tersebut dalam benak Zon? Puisi ini menyatakan tiga tokoh: bandar, kacung makelar, dan begal. Tunggu, jangan kaitkan puisi ini dengan posisi Zon selaku wakil rakyat yang mengemban amanat selaku Wakil Ketua DPR. Kita tetap menempatkan puisi ini sebagai puisi yang lahir dari benak cetek Zon.
Bandarnya Pak Jokowi, kacung makelarnya Pak Romy, dan begalnya Mbah Moen. Seribu kali pun Zon berkilah dengan memajang foto-foto beliau bersama Pak Kiai Moen tidak akan mengubah kandungan puisi ini.
Masalahnya, Zon lupa bahwa dalam KBBI ada satu kata benda yang sangat keren. Kata itu adalah cermin. Cermin itu memantulkan baris berikutnya: penuh cara-cara licik. Siapa yang selama ini kerap menampilkan cara-cara licik. Pasang saja cermin di depan doi maka cermin langsung menunjuk siapa pelakunya.
Kurang licik apa seseorang yang berteriak lantang tentang ada orang yang mengeroyok koleganya sampai wajah koleganya babak belur dan lebam, kemudian ia berdalih dibohongi dan dizalimi setelah niat liciknya menembak kubu sebelah ternyata gagal total? Silakan bertanya pada cermin di depan Zon. Sebab, konon, hingga hari ini sang kolega yang lebam itu belum pernah sekali pun ditengok. Jangankan ditengok, diingat saja kagak!
Nah, lantaran doa Mbah Moen salah ucap maka lahirlah bait keempat. Zon memosisikan diri sebagai pihak yang dizalimi. Ia sedang berusaha membetot simpati. Ia sedang ingin mengatakan bahwa "sebenarnya junjungan kami yang didoakan, tetapi doanya ditukar".
Setelah menempatkan diri sebagai pihak yang dizalimi, Zon menobatkan dirinya dan koleganya sebagai "para pejuang". Ya, mereka memang para pejuang. Selama ini mereka membela agama dan ulama. Soal sekarang "mengejek ulama lewat puisi", gara-gara ulama karismatik tersebut tidak berdiri di pihak Zon. Andai kata ada di pihak Zon pasti bakal dibela mati-matian.
Sederhana, kan?
Meraut Kepekaan Gramatikal
Upaya Zon untuk berkarya dengan melahirkan puisi sebenarnya bukan ia hajatkan untuk seni. Apa yang ia karang sejatinya untuk meledek orang-orang yang berseberangan dengannya. Apa yang ia gubah sebenarnya untuk meletakkan kaumnya di tempat yang luhur dan agung.
Apakah hal sedemikian sah? Tentu saja sah. Adalah hak Zon untuk menganggit puisi. Mau sepuluh mau seratus, silakan saja. Akan tetapi, Zon sekarang dalam posisi sebagai wakil rakyat. Banyak perkara yang mesti ia tuntaskan di Kubah Hijau. Beliau digaji untuk melahirkan atau mengesahkan undang-undang, melakukan tugas pengawasan, dan menyusun atau menyetujui anggaran. Jadi, bukan untuk bacar mulut atau banyak bacot atau mengarang puisi abal-abal.