Ferguso orangnya baik hati dan ramah. Ia murah senyum setiap bertemu siapa saja. Ia ringan tangan apabila ada tetangga yang butuh bantuan. Kepada yang lebih muda ia lemah lembut, kepada yang seumuran ia sangat sopan, dan kepada yang lebih tua ia sempurna menata krama.
Jangankan kepada orang yang ia kenal dan akrab, kepada orang asing saja yang baru pertama kali bertemu pun tutur cakapnya selalu terjaga. Jika ada orang menanyakan alamat atau rumah atau tempat kepadanya, ia tidak pernah menjawab dengan kalimat nyeleneh seperti "maaf, aku orang baru di sini". Walhasil, semua orang suka adabnya.
Sekarang tidak lagi. Adabnya susut, etiketnya surut, sopan santunnya terkikis. Nalarnya pun nyaris kehilangan martabat, sebab otaknya mendadak sengklek atau sedikit bergeser dari tempatnya manakala sebuah kabar tak menyenangkan tertangkap oleh mata atau telinganya.
Kabar apa saja bisa diserap semudah menarik napas dan kontrol dirinya menipis. Ia mendadak keranjingan mengomentari apa pun. Meski tidak tahu seluk-beluk bola, ia seketika menjelma pandit yang sok mumpuni. Walau tidak tahu sisik-melik politik, ia mendadak jadi pakar yang serbatahu. Kendati tidak tahu hal ihwal agama, ia tiba-tiba menjelma sebagai tukang ceramah yang mahir memurtadkan atau mengafirkan sesama.
Ferguso seroyongan memprolamasikan diri sebagai pengamat atau komentator atau pakar apa saja. Ia sekarang "merasa pintar" dan sudah lupa "pintar merasa". Begitu ada pendapat orang lain yang tidak seturut atau senada dengan pikirannya, berbondong-bondong makian meluncur dari bibirnya. Di media sosial juga begitu. Sekonyong-konyong ia terampil mendungukan orang lain. Pendek cakap, tidak ada orang pintar selain dirinya.
Semua gara-gara Pemilihan Jaro di Nagari Takada. Ferguso berdiri "di seberang petahana". Tidak satu pun hal baik dari kubu petahana yang baik pula di matanya. Pasti ada cacatnya, selalu ada celanya. Bikin ini dicibir, bikin itu dinyinyir. Membangun ini dilepeh, membangun itu dinyenyeh. Melakukan ini dicemooh, melakukan itu dicemeeh.
Ferguso benar-benar sempurna sebagai petarung dari pihak penantang petahana. Nagari Takada terperangah karena congornya. Lihat saja akun Twitter-nya. Linikalanya dipenuhi sumpah serapah pada petahana. Kalau bukan tolol, pasti goblok atau dongok. Ia malah mendaulat dirinya sendiri sebagai "pakar dongok": apa saja dari pihak petahana ia namai "tabiat dongok", siapa saja dari pihak petahana ia sebut "kaum dongok".
Pendeknya, hanya ia dan orang yang segolongan dengannya yang ia sapa "umat takpandir". Hampir tidak ada satu hari pun yang dilewati Ferguso tanpa caci maki pada kubu sebelah. Di media sosial ia sengak, di ajang debat ia congkak.
Virgina, kekasih Ferguso, gerah dan mencak-mencak melihat ulah lelaki yang dia kasihi. Dia, seperti Ferguso sebelum berubah perangai, memang termasuk "golongan putih". Akal budinya putih, tutur katanya putih, dan  gerak-geriknya juga putih. Tidak seperti Ferguso, dia tetap bertahan menjadi "orang putih".
Sekalipun dia benci tingkah laku Ferguso semenjak persaingan menuju "orang nomor satu di Nagari Takada", dia tidak serampangan mengumbar cerca. Jika ada yang menggelisahkan hati, dia panggil Ferguso dan mengajak lelaki tersayangnya itu bercakap-cakap dari hati ke hati.
Apa daya, Ferguso sudah tidak mempan dinasihati. Akal budinya digelimuni benci, hatinya diselimuti dengki. Ia bahkan menuduh Virgina sudah makan suap. Ia juga menuding Virgina terpedaya olah pencitraan petahana.
Virgina menelan pil pahit. Hatinya yang putih masih merawat cintanya kepada Ferguso, tetapi dia memilih berdiam diri di hadapan Ferguso. Dia tidak suka berselisih gara-gara Pemilihan Jaro. Beda pilihan tidak akan sukses membuatnya memutus silaturahmi, memangkas persahabatan, atau mencederai persaudaraan.
Meski begitu, Virgina mulai berkampanye di media sosial. Bukan untuk mendukung petahana secara terang-terangan, melainkan mengajak warga Takada untuk merawat kewarasan dan tidak bunuh diri di media sosial.
Kampanyenya sungguh bertolak belakang dengan uar-uar yang diumbar Ferguso. Tidak ada kata "dongok" dalam setiap ujarannya. Dia bertumpu pada paham "setiap orang punya kelebihan sehingga setiap orang juga punya kekurangan".
Dunia digital memang sudah memanjakan warga Takada. Jarak terlipat, waktu terpampat. Lewat Grup WA, misalnya, kabar banyak orang di tempat nun jauh dapat terdengar dalam sekejap. Lewat Twitter, misalnya, aktivitas orang-orang juga lebih gampang diketahui. Begitu pula lewat Facebook dan Instagram. Hanya Path yang sudah menyandang gelar "almarhum" di Nagari Takada.
Virgina tidak ingin ikut-ikutan bunuh diri massal di media sosial. Sekalipun sulit, ia menjaga akal sehat atau merawat akal budinya. Mereka yang bersikeras bunuh diri, silakan saja. Akan tetapi, barisan orang-orang waras harus tetap ada.
Ferguso mengamuk. Ia sebar kabar buruk di media sosial, ia tebar gosip busuk di media massa. Katanya, "Virgina sekarang sudah masuk 'kaum dongok' yang kerjaannya cuma membebek."
Virgina tertawa saja. Alih-alih tersulut atau tersinggung, dia malah berbagi trik di media sosial mengenai cara mengasuh kewarasan di Planet Digital. Triknya sederhana. Tidak rumit atau jelimet. Beginilah trik Virgina, yang sekarang dianggap musuh oleh Ferguso, agar tidak ikut tercebur ke dalam kolam bunuh diri massal.
Dia ingatkan orang-orang pada peristiwa jenaka yang menimpa Ferguso dan konco-konconya. Pada suatu ketika, seorang rekan Ferguso menghilang dari peredaran. Begitu muncul, mukanya bonyok. Kontan Ferguso berkoar-koar di media sosial dan media massa. Katanya, temannya itu dipermak oleh orang-orang tidak bertanggung jawab.Â
Bahkan, Ferguso menuding "kaum dongok" berada di balik pengoroyokan itu.
Ternyata semuanya dusta belaka. Teman Ferguso berbohong. Tidak ada pengeroyokan, yang ada hanya proses permak wajah agar tetap tampak cantik dan menarik. Ferguso terkecoh. Dengan gesit ia berkilah bahwa yang ia lakukan bukanlah "tabiat dongok", melainkan ditipu mentah-mentah oleh kawan sendiri. Semacam ditelikung, semacam ditikam dari belakang.
Virgina tidak ikut-ikutan mencibir atau mencebik seperti pendukung petahana. Dia jaga jemarinya agar tidak mengoyak luka atau menyaya kulit tabah Ferguso. Dia praktikkan falsafah "jangan buru-buru". Dia jalani ritual "berpuasa mencaci" secara sungguh-sungguh.
Itu semata-mata contoh betapa terburu-buru menafsirkan sesuatu dan mengumbarnya ke media sosial dapat merusak harkat diri. Perilaku seperti itu hendaknya tidak ditiru. Bukan sekadar suka grasa-grusu memajang sesuatu di medsos, melainkan sekaligus mengata-ngatai orang lain dongok.
Virgina menyajikan satu contoh konkret, yakni cuitan seorang anggota Dewan Warga Takada--Ibu Hanya Rachmar. Wakil rakyat yang terhormat ini menyajikan amsal menarik terkait pengambilalihan saham sebuah perusahaan tambang asing dengan niaga mengontrakkan rumah.
Perumpamaan beliau sebenarnya menarik. Mestinya pas masa kontrak habis, pemilik rumah tingal mengambil alih rumah; bukan membeli rumah sendiri kepada yang mengontrak dengan memakai uang hasil berutang. Begitu kicau beliau.
Bagi Virgina, itu kicauan brilian. Bahkan sangat brilian konyolnya. Sebagai anggota Dewan Warga Takada, Ibu Hanya bisa meminta dokumen Kontrak Karya kepada Pemerintah Takada, lalu menyuruh staf ahlinya menelaah kontrak tersebut, lalu menandai poin penting agar tidak keselimpet saat menarikan jemara di gawai. Tentu saja perusahaan tambang raksasa bukan sesuatu yang enteng sehingga dapat serta-merta disamaratakan dengan kontrakan rumah.
Seketika Ibu Hanya Rachmar mengundang komentar netizen. Tahu sendiri kalau netizen sudah angkat suara. Segala rupa direndeng-rendeng. Kasihan derajat beliau sebagai seorang wakil rakyat. Meski begitu, ada hikmah besar yang dapat kita petik dari kisah doi: jangan asal bunyi.
Virgina mencontohkan ketika Calon Wakil Jaro dari Kubu Petahana keseleo lidah. Cawajar yang memilih belakangan baru turun berkampanye itu mengucapkan dua kata yang aduhai: buta dan tuli. Sebenarnya beliau memilih dua kata itu sebagai tamsil atau perumpaan saja, sebagaimana Ferguso menggunakan istilah "kaum dongok".
Namun, Ferguso dan komplotannya sudah sangat mahir dalam urusan goreng-menggoreng isu. Tersiarlah kabar di media sosial tentang Cawajar Nagari Takada yang tidak empatik, yang tidak simpatik, yang nirpeduli pada warga Takada yang menyandang buta dan tuli.
Sekalipun pengusung paslon petahana mati-matian menyampaikan makna sebenarnya dari pernyataan Cawajar, kabar taksedap sudah telanjur tersiar. Bagi Virgina, merosotnya dukungan terhadap kubu petahana sering kali karena blunder tidak perlu dari paslon ataupun pengusung.
Dengan kata lain, jangan gali kubur.Â
Pikir-pikir dulu sebelum nyinyir. Timbang-timbang dulu sebelum menyerang.Â
Sayang, trik Virgina tidak diacuhkan oleh siapa pun. Pendukung petahana tidak peduli, pengusung penantang cuek bebek. Ringkasnya, Dunia Digital di Nagari Takada tetap riuh oleh cekcok politik.
Meski begitu, Virgina tidak patah arang. Dia tetap bersemangat menyerukan ajakan agar warga Takada menjauhi tindakan bunuh diri di media sosial. Dalam benaknya, tidak ada kata putus asa dalam memperjuangkan kebaikan.
Kepada kekasihnya, Ferguso, dia mengirim pesan lewat WA: Jangan bunuh diri di media sosial, Ferguso, dan sampaikan pesan ini kepada seluruh warga Takada. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H