Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Sandiwara Koalisi Kelahi

17 November 2018   07:00 Diperbarui: 17 November 2018   17:41 1765
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
kompas.com/Roderick Adrian

Jika Koalisi Prabowo-Sandi mengetahui apa yang tidak baik bagi mereka, niscaya mereka dapat memikirkan cara ajaib untuk menemukan apa yang benar-benar terbaik bagi mereka.

Sesungguhnya sari pati koalisi adalah bekerja sama. Kalau mau kita sederhanakan, sejatinya koalisi tidak lebih dari padunya kepalan. Jika jempol keseleo, kepalan terancam renggang. Jika jari manis bengkak, kepalan bakalan retak. Jika kelingking terkilir, tenaga kepalan pasti berkurang.

Koalisi partai juga demikian. Harus padu, harus satu. Padu dalam bergerak, satu dalam bertindak. Mengapa harus ada koalisi? Karena daya ungkit satu partai tidak memenuhi syarat untuk mengusung sepasang calon. Begitu hakikat sepele dari kongsi antarpartai menghadapi Pilpres. Suara Gerindra tidak mencukupi ambang yang ditentukan. Oleh karena itu, Gerindra mesti rela berendah hati dan berlapang dada mengajak partai lain untuk mengusung Pak Prabowo.

Kita kembali pada amsal receh tentang kepalan. Pasangan capres-cawapres sudah ditentukan. Kubu penantang sepakat mengusung Prabowo dan Sandiaga Uno. Koalisi juga sudah dipastikan, yakni Gerindra sebagai ibu jari, PAN sebagai telunjuk, Partai Demokrat sebagai jari manis, dan PKS sebagai jari kelingking.

Jangan sewot atau baper dulu. Itu bukan perihal tinju-meninju, kok. Itu amsal belaka. Pendek kata, empat partai itulah yang menjadi pilar utama. Masing-masing punya hak dan kewajiban untuk pengusung pasangan penantang, selanjutnya kita sebut PAS.

Sekalipun Partai Gerindra menjadi jempol alias pusat koalisi, kehadiran partai pengusung lainnya tidak boleh dipandang sebeleh mata. Apalagi dilecehkan dan dilepehkan. Jempol harus sanggup menjadi pengikat kepalan, bukan tukang kobok-kobok kebersamaan.

Sekarang mari kita tilik realitas koalisi. Capres, Prabowo Subianto, berasal dari Partai Gerindra. Sandiaga Uno, sang cawapres, juga dari kubu yang sama. Artinya, potensi salah urat sudah menganga lebar semenjak pasangan ditentukan. Jika jempol tidak piawai mendengar dan mendengarkan, tenaga kepalan akan melemah.

Pertama, ijtima ulama disepelekan. Sebagai jari kelingking dalam koalisi PAS, PKS sempat berangan-angan dilimpahi posisi cawapres setelah para ulama sepakat mengasongkan dua nama. Salah satu nama yang diajukan para ulama adalah petinggi PKS. Nama pertama sudah menampik lantaran ingin berkonsentrasi berdakwah. Akan tetapi, PKS terpaksa gigit jari. Ternyata Prabowo memilih kader partainya sendiri.

Rekomendasi ulama diabaikan begitu saja oleh Sang Jempol alias Partai Gerindra. PKS bersabar dan istikamah. Alih-alih menarik diri dari koalisi, mereka tetap bertahan. Bahkan, mendaulat Sandi sebagai santri. Sebenarnya penahbisan santri itu ledekan halus akibat saran para ulama diabaikan secara terang-terangan oleh Sang Jempol.

Kedua, gelitikian Jenderal Kardus. Giliran jari manis alias Partai Demokrat yang merasa diremehkan. Bukan apa-apa, partai ini punya rekam jejak mencengangkan dalam urusan usung-mengusung calon. Pak SBY, pusat dan pusar Partai Demokrat, memenangi Pilpres langsung sebanyak dua kali. Berturut-turut pula.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun