Jika semua permintaan kita dipenuhi oleh Tuhan, kita tidak akan paham hakikat bersabar. Jika semua harapan kita menjadi kenyataan, kita tidak akan tahu esensi tabah.
Sabda menemukan potongan kalimat itu ketika duduk di beranda, setelah meninggalkan sunyi di kamar tidurnya yang tanpa televisi, dan membuka halaman-halaman novel yang, semula, hendak ia baca sebelum tidur.Â
Ia sadar bahwa kekuatan cintalah yang membujuk Kana untuk menyelipkan kertas berisi potongan sajak di sela halaman Mantra Pejinak Ular. Namun, bagi Sabda, cinta bukan perasaan yang mudah diungkapkan atau dinyatakan.
Tidak, oh, tidak. Teriaknya di dalam hati.
Aku tidak mau gegabah. Apalagi asal bicara. Bisa saja kukatakan kepada Kana bahwa aku juga mencintainya. Aku juga pasti sanggup mengucapkan "aku sayang kepadamu". Namun, aku tidak ingin memberikan harapan semu kepadanya.Â
Bisa juga kunyatakan kepadanya bahwa aku tidak mencintainya dan aku yakin mampu berkata seperti itu, tetapi aku tidak akan mengatakan hal seperti itu karena, sebenarnya, aku memang tidak ingin mengatakan "aku tidak mencintaimu".
Cinta memang bagai kopi: sepahit apa pun selalu disukai, bahkan hingga teguk terakhir.
Ia mengusap wajah dan mendesah.
Ia masih termangu dengan novel di pangkuan ketika Sam dan Willy muncul di beranda dan tersenyum-senyum. Keduanya duduk tepat di hadapan Sabda.Â
Sabda jengkel. Ia merasa seperti tontonan, tetapi ia acuh tak acuh, tidak peduli pada ledekan lewat tatapan mereka, masuk ke rumah dan melemparkan novel ke atas kasur, lalu mengambil novel itu lagi dan kembali ke beranda sambil menggenggam Mantra Pejinak Ular, duduk di depan mereka dengan bibir terkatup, dan segera melarutkan pikiran ke dalam imajinasi Kuntowijoyo.