Kubu Prabowo-Sandi memang mahir bikin gempar. Para juru bicaranya, terutama yang masih muda, sangat ahli menaja isu. Mereka bahkan cocok digelari juru heboh. Video kaku tentang lima jubir muda dapat disorong sebagai contoh. Video itu langsung menuai tanggapan dari warganet.
Mungkin ada yang bertanya-tanya mengapa video pengenalan lima jubir muda tersebut saya sebut kaku.
Lihat saja gaya Panglima Jubir yang berbicara dengan kepalan tangan selalu diumpet dalam saku celana. Lihat saja ekspresi garing Faldo saat jongkok lalu berdiri. Lihat saja senyum masam Pipin ketika memamerkan kebiasaan berpuasa Sandi. Pendek kata, semuanya kaku. Persis robot dikasih nyawa.
Akan tetapi, abaikan kekakuan ekspresi mereka. Ada yang jauh lebih menarik untuk diulik-ulik. Begini. Mereka memang bukan Youtubers yang terbiasa membuat vlog alias video blog. Wajar apabila ekspresi mereka awut-awutan. Lagi pula, mereka tidak jualan mimik.
Sebenarnya mereka sedang jualan gosip. Citra jualan gosip memang sudah lekat dengan kubu Prabowo. Namanya gosip pasti banyak isu murah dan murahan. Bagi mereka, itu absah dan halal. Tujuan utama bukan konten kreatif yang mencerdaskan, melainkan kabar miring yang berpotensi jadi buah bibir.
Pak Sandi misalnya, tidak henti-henti memainkan jurus mabuk narasi buruk. Mula-mula tempe dituding setipis ATM, lalu setebal tablet. Tidak apa-apa dituding plin-plan alias inkonsisten, yang penting bualan sudah menyedot perhatian.
Tidak berbeda jauh dengan akal bulus kancil cerdik. Akibat tiada cara lagi untuk menyelamatkan nyawa, siasat pun dirancang sedemikian rupa. Maka, buaya-buaya pun diminta berbaris rapi. Bukan hanya sukses mengelabui buaya agar bisa menyeberangi sungai, kancil juga berhasil menginjak punggung buaya. Lebih dahsyat lagi, banyak punggung buaya yang terinjak-injak.
Begitulah kiasannya. Mereka piawai menabuh gendang gosip. Itu patut diacungi jempol. Pokoknya, nomor wahid. Tidak penting benar konten kampanye yang disampaikan. Sisi pentingnya hanya berlaku cerdik biar selamat. Berhasil atau tidak itu perkara belakangan, yang penting usaha dulu. Jadi, latar pikirnya cerdik dan selamat.
Kita kembali ke video perkenalan lima juru heboh Kubu Prabowo. Sekarang mari kita sigi jualan narasinya.
Mengapa Pipin mengangkat kebiasaan Pak Sandi rajin puasa Senin-Kamis? Jualannya sentimen agama. Cawapres muda dan kaya, ganteng dan ramah, rajin ibadah pula. Itu mainan gosipnya.
Imbauan bahwa puasa itu ibadah rahasia yang tidak layak diumbar tentu sudah mereka rancang penangkisnya dengan matang. Jawabannya jelas sepele: memberikan teladan bagi kaum muda. Politik boleh, bisnis oke, namun ibadah tetap rajin. Puasa sunat Senin-Kamis saja rajin, apalagi puasa wajib--pasti lebih oke-oce.
Di situ terlihat kecerdikan para juru heboh. Mau tidak mau, harus diakui mereka memang jago. Cerdik beda dengan cerdas, sebagaimana pintar tidak serupa dengan pandai.Â
Cerdik dapat dimiliki oleh siapa saja karena manusia memang dibekali akal. Adapun cerdas belum tentu dipunyai semua orang, sebab kecerdasan terkait dengan kemampuan mengasah dan mengasuh akal. Pandai besi tidak banyak, pintar memakai besi yang banyak.
Jadi, lima juru bibir Kubu Prabowo memang memanfaatkan kecerdikan dan kepintaran mereka. Apa lagi atuh? Jualan prestasi pasti mustahil. Jelas muskil kalau pilpres dibuali prestasi menaklukkan puncak tertinggi dunia. Jelas mustahil bila pilpres diriuhi perbandingan harga nasi di Jakarta dan Singapura.
Namun, sekali lagi, jualannya memang yang mustahil dan muskil. Yang penting asal heboh dulu. Itu sasaran tembaknya. Biar bergulir dan terdengar di kuping netizen. Syukur-syukur Kubu Jokowi terpancing dan menggerundel. Itu berarti tujuan lempar gosip terpenuhi.
Sekarang mari kita lihat bualan penutup. Syahdan, Prabowo adalah reinkarnasi tokoh agung nan ageng, yakni Soekarno dan Soedirman. Ini jelas-jelas bualan gila. Masak Prabowo titisan dari dua tokoh bangsa dari sipil dan militer itu? Akan tetapi, mereka tidak peduli dan jalan terus.
Bukan kubu Prabowo kalau tidak gila. Kata terakhir dari kalimat tadi lebih lunak daripada dungu. Saking gilanya, hasil operasi plastik disebut buah penganiayaan. Bukan hanya gencar dilempar secara parsial, melainkan sampai bikin konferensi pers. Ini cerdik. Jika kedok terbuka tinggal berkelit dan berkilah. Ramai-ramai cuci tangan beres perkara.
Apa yang Soekarno dari Prabowo? Tidak ada. Kalau cuma peci dan baju, itu namanya imitasi. Setiap yang bernama imitasi atau tiruan pasti bernilai rendah. Kenapa? Karena palsu. Emas imitasi tidak pernah setara harganya dengan emas tulen.
Apa yang Soekarno dari Prabowo? Tidak ada. Kalau cuma gaya pidato, banyak orator yang bisa lebih mirip dengan Bung Karno dibanding Pak Prabowo. Intonasi Pak Prabowo tidak mengalun dan membuai. Malah condong marah-marah.
Apa yang Soekarno dari Prabowo? Tidak ada. Presiden pertama kita mahir menulis buku. Karya-karyanya melegenda. Pemikirannya lesap di benak khalayak. Pak Prabowo? Baru mencetak buku nikah. Ya, jauh ke mana-mana. Di situ tampak tragedi, namun sekaligus memicu ricuh.Â
Meski begitu, bukan perbandingan yang mereka tuju. Kubu Prabowo mengincar perbincangan. Syukur-syukur ada yang terpancing. Faktanya begitu. Cucu Bung Hatta meradang gara-gara Pak Sandi disetarakan dengan Bung Hatta. Ricuhlah media sosial. Mereka ketawa-ketiwi karena tujuan sudah tercapai.
Maka, tidak perlu ceramahi mereka tentang percaya diri dan mengajukan prestasi sendiri. Mereka paham dan khatam soal sedemikian. Di antara mereka ada yang doktor ada yang dokter. Mereka hanya sedang menabur benih isu.
Mengapa demikian? Inilah strategi kancil bagi mereka melawan Kubu Jokowi. Riskan bagi mereka mengorek-ngorek borok. Paling-paling nilai tukar rupiah yang bisa digoyang. Kadang ditambah beruntun janji Jokowi yang belum tunai. Jika terus begitu, Kubu Prabowo akan keteteran.
Ketika cucu Bung Hatta bersuara, mereka terkikik-kikik seraya menggumam. "Bola sudah menggelinding." Sesederhana itu. Hasilnya luar biasa. Media massa mengupas, media sosial mengulas.Â
Kubu Jokowi ikut-ikutan. Lupalah jubir Jokowi untuk mengudar prestawi dan terperangkap jebakan dungu. Kubu Jokowi sibuk menangkis gosip tidak perlu, lalu abai membahanakan kampanye cerdas. Terlihat jelas betapa cerdik jubir muda Kubu Prabowo. Salut!
Apa yang Soedirman dari Prabowo? Sudahlah, tidak usah diulas lagi. Apa yang Hatta dari Sandiaga? Ah! []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H