Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ikut Waras atau Mau Dungu?

19 Oktober 2018   14:08 Diperbarui: 19 Oktober 2018   14:40 716
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namanya juga pengkhotbah, ya, pekerjaan utamanya mengkhotbahkan. Mengajarkan bahwa tiap yang dari pihak sebelah pasti dungu, serta mengabarkan bahwa tiap yang mendukung pihak istana adalah dungu. Namanya juga khotbah, pendengar hanya boleh mendengar. Tidak boleh menyanggah isi khotbah, apalagi membantah tudingan dungu.

Kata waras menawarkan dialog. Boleh silang pendapat, boleh bersitegang leher, boleh bersilat lidah. Diskusi dan debat bukan persoalan, justru dijadikan peluang untuk mengasah dan mengasuh kewarasan.

Kata dungu menawarkan ceramah. Kata "ceramah" bisa dipelesetkan menjadi "cerewet dan marah-marah". Nah, diceramahi dapat juga dimaknai "dicereweti dan dimarah-marahi". Tiada pertanyaan dari orang dungu. Sebab, juru pendungu berhak mengatakan apa saja. Boleh ikut berpendapat asalkan sepuak atau sekaum.

Mengapa narasi waras dan deskripsi dungu ini muncul? Bunga-bunga Pilpres. Kedua istilah itu adalah bumbu kampanye. Namanya juga bumbu, takarannya harus pas. Kurang akan hambar, lebih bikin muak.

Sekarang, mari kita coba taruh kata ajakan di depan waras dan dungu. Ajakan waras enak dibaca, ajakan dungu terasa getir. Ajakan mewaraskan berasa lebih bermartabat, karena "membuat jadi waras". Ajakan mendungukan terasa kurang beradab, karena ada unsur "mengajak dengan mengejek".

Apa yang mesti kita lakukan? 

Tidak perlu melakukan apa-apa. Ini pilihan pertama. Biarkan saja mereka berdebat hingga mulut berbusa. Toh tiada dampak apa-apa bagi kita. Gaji masih sama, kehidupan begitu-begitu saja. Sementara itu, mereka dapat honor dari hasil berdebat.

Dukung salah satu pihak. Ini pilihan kedua. Pilpres itu perkara penting bagi masa depan bangsa yang berpotensi jadi masalah besar jika kita salah pilih. Soal siapa yang akan diikuti tinggal tengok hati. Tanya nurani sendiri pilihan mana yang paling pas: mau waras atau mau dungu. Tanya hati sendiri mana yang pantas: ikut mewaraskan atau ikut mendungukan.

Dua-duanya punya unsur negatif. Yang mengajak waras secara tersirat menuding ada pihak yang tidak waras. Ini sedikit angkuh. Hanya sedikit. Sementara itu, pihak yang banyak angkuh itu yang mengejek dungu. Sebab, ada indikasi menunjuk diri sendiri sebagai yang tidak dungu.

Saya pribadi enggan apatis. Saya harus memilih. Akan tetapi, saya tidak akan ikut dungu apalagi mendungukan orang lain. 

Bagaimana dengan kalian? Timbang-timbang saja mana yang cocok: ikut waras atau ikut dungu! []

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun