Huruf bertemu angka mesti dibubuhi tanda hubung. Contoh: ke-73 (benar), ke73 (keliru).
Aku bertemu kamu pasti dibubuhi rindu, sebab kamu satu-satunya alamat tujuan rinduku.
Bayangkan kita membaca satu alinea dengan kalimat panjang tanpa tanda koma. Bayangkan kita mengeja satu kalimat dengan beruntun kata tanpa tanda baca. Bayangkan kita ngos-ngosan seperti pelari yang lama tidak berlatih.
Selain itu, kita tidak boleh meremehkan tanda baca sebab tanda baca berguna untuk memudahkan pembaca mencerna makna tulisan. Tanda seru, misalnya, alamat ada sesuatu dalam kalimat seruan yang mesti dicamkan atau diperhatikan. Tanda tanya, misalnya lagi, isyarat ada sesuatu dalam kalimat yang menuntut jawaban.
Meski begitu, tidak sedikit penulis yang abai pada tanda baca. Tanda seru (!) dijajarkan hingga sepuluh. Tanda titik (.) ditaruh setelah tanda tanya (?) atau tanda seru (!), padahal jelas-jelas pada tanda seru dan tanda tanya sudah ada titik (.).
Kali ini, saya ingin mengajak teman-teman yang suka menulis untuk berkecek atau mengobrol tentang tanda hubung (-). O ya, sebelumnya kita serasikan pendapat dulu bahwa tanda hubung berbeda dengan tanda pisah. Selain simbol yang berbeda, fungsi tanda hubung (-) dan tanda pisah (--) juga tidak sama.
Aku dan kamu akan menjadi kita jikalau ada yang menghubungkan. Namanya cinta. Ada kata tercerai yang mesti ditulis serangkai. Itulah gunanya tanda hubung diciptakan.
Memasuki bulan Agustus, kita akan menemukan banyak pelanggaran kaidah menulis. Pelakunya bukan hanya orang awam yang jarang bersentuhan dengan dunia tulis-menulis. Kadang-kadang justru dilakukan oleh orang yang, sebenarnya, sudah bangkotan berkecimpung dalam dunia literasi.
Pelanggaran kaidah menulis itu bahkan terjadi pada hal-hal sepele. Misalnya, pemakaian tanda hubung. Untung saja para pelanggar aturan menulis tidak perlu ditilang sebagaimana polisi menilang para pelanggar rambu-rambu lalu lintas.
Sesekali ada "dokter bahasa" yang memberikan wejangan. Itu pun sering dianggap angin lalu. Masuk di kuping kanan keluar di kuping kiri. Malah ada yang baru masuk di kuping kanan, eh, ternyata tidak jadi.
Tidak percaya? Silakan buka buku dan cermati penulisan huruf kapital yang dipadukan dengan angka. Jarang ada yang tepat. Penulisan S1 disangka tepat, padahal keliru. Penulisan 17an dikira benar, padahal salah. Penulisan 'memeti-eskan' diduga pas, padahal menyeleweng.
Pada mulanya, penanda kata ulang menggunakan angka /2/. Kaidah itu berlaku pada Ejaan van Ophuiysen dan Ejaan Soewandi, kemudian diubah menjadi tanda hubung (-) dalam Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Ejaan Bahasa Indonesia. Perhatikan contoh berikut.
Angka bertemu huruf harus dibubuhi tanda hubung. Contoh: 17-an (benar), 17an (keliru).
Cinta mesti dibubuhi setitik cemburu, sedikit cemas, dan secuil curiga agar rasa rindu mencuat.
Dengan demikian, mestinya kita tidak menggunakan penanda kata ulang yang sudah tidak berlaku atau sudah kita tinggalkan. Layaknya mantan. Tidak usah direcoki lagi dengan bujukan agar kembali. Biarkan mantan bahagia dengan hidupnya sekarang. Oke?
Ada segilintir di antara kita yang masih lalai membubuhkan tanda hubung. Ada pula yang masih memakai ejaan lama, seolah-olah belum rela meninggalkan kenangan lama. Entah belum tahu, entah pura-pura tidak tahu. Yang pasti, kekeliruan masih sering terjadi.
Penanda kata ulang dengan angka (2) sudah lama ditinggalkan. Jadi, tanggalkan. Gunakan tanda hubung sebagai pengganti. Bukan hanya dalam tulisan resmi atau formal, melainkan sekaligus pada tulisan takresmi atau informal. Ini pembiasaan.
Bukankan bisa kalah karena biasa? Seberbisa apa pun racun ular tidak akan berarti apa-apa bagi mereka yang terbiasa padanya. Itu faedah pembiasaan.
Jika kita menyetir mobil atau mengendarai motor di jalan, suka tidak suka kita harus peduli pada rambu-rambu. Kalau tidak, niscaya suasana jalanan kusut kasau atau sangat kacau.
Menulis juga begitu. Ada kaidah, ada aturan. Mau tidak mau, kita harus peduli pada kaidah atau aturan itu. Kalau tidak, tulisan kita akan kusut kasau alias sangat kacau.
Mari kita babar penggunaan tanda hubung. Biar jelas, biar terang.
Pertama, penyambung kata ulang. Kata ulang ditulis secara lengkap dan utuh dengan menggunakan tanda hubung (-) di antara unsur-unsurnya. Misalnya:
Tanda tanda hubung diletakkan pada pengulangan unsur pertama, misalnya kapal barang (kapal-kapal barang), kereta api cepat (kereta-kereta api cepat), atau surat kabar (surat-surat kabar).
Kata ulang yang dibubuhi awalan pada unsur pertama ditulis serangkai dengan menggunakan tanda hubung di antara unsur-unsurnya. Misalnya bercita-cita, bercerai-berai, dibentak-bentak, dibongkar-bangkir, menjadi-jadi, melompat-lompat, terbata-bata, atau terkencing-kencing.
Jika awalan dibubuhkan pada kata ulang dengan konsonan /kpst/ yang mengawali kata pertama, konsonan itu harus diluluhkan dan ditulis serangkai dengan memakai tanda hubung di antara unsur-unsurnya.
Misalnya ketuk-ketuk (mengetuk-ngetuk), pukul-pukul (memukul-mukul atau pukul-memukul), seret-seret (menyeret-nyeret atau seret-menyeret), tarik-tarik (menarik-narik atau tarik-menarik).
Kata ulang yang dibubuhi akhiran pada unsur kedua ditulis serangkai dengan menggunakan tanda hubung di antara unsur-unsurnya. Misalnya batu-batuan, mata-matai, kacang-kacangan, bolak-balikkan, mati-matian, atau lempar-lemparkan.
Jika awalan dibubuhkan pada kata ulang dengan konsonan /kpst/ yang mengawali kata kedua, maka kosonan itu harus diluluhkan dan ditulis serangkai dengan tanda hubung di antara unsur-unsurnya. Misalnya karang-karang (karang-mengarang), peluk-peluk (peluk-memeluk), sulam-sulam (sulam-menyulam), tulis-tulis (tulis-menulis)
Kata ulang yang dibubuhi awalan dan akhiran ditulis serangkai dengan menggunakan tanda hubung di antara unsur-unsurnya. Misalnya berdekat-dekatan, kekuning-kuningan, dipukul-pukuli, bersalam-salaman, tertutup-tutupi, sebaik-baiknya, terombang-ambingkan.
Jika awalan dan akhiran dibubuhkan sekaligus pada kata ulang dengan konsonan /kpst/ yang mengawali kata kedua, maka kosonan itu harus diluluhkan dan ditulis serangkai dengan tanda hubung di antara unsur-unsurnya.
Misalnya ketuk-ketuk (mengetuk-ngetuki), pikir-pikir (memikir-mikirkan), sembur-sembur (menyembur-nyemburkan), atau tembak-tembak (menembak-nembaki)
Kedua, memperjelas makna. Tanda hubung dapat dipakai untuk memperjelas hubungan bagian kata atau ungkapan agar maknanya persis seperti harapan penulis.Â
Kata evolusi dan revolusi, misalnya, tatkala dibubuhi awalan 'ber-'. Kehadiran tanda hubung memudahkan pembaca untuk membedakan makna "ber-evolusi" dengan "be-revolusi".
Gabungan kata yang dapat menimbulkan salah pengertian ditulis dengan membubuhkan tanda hubung (-) di antara unsur-unsurnya. Perhatikan: ibu-bapak kami dan ibu bapak-kami. Tanda hubung pada 'ibu-bapak kami' bermakna "ibu dan bapak adalah orangtua kami". Sementara itu, 'ibu bapak-kami' berarti "ibu dari bapak kami" atau "nenek kami".
Simak juga contoh ini: buku-sejarah baru dan buku sejarah-baru. Adapun makna 'buku-sejarah baru' ialah "bukunya yang baru", sedangkan 'buku sejarah-baru' berarti "sejarahnya yang baru". Makna kata jadi beda gara-gara cara kita meletakkan tanda hubung.
Ketiga, memisahkan huruf kecil dari huruf kapital atau sebaliknya. Tanda hubung dipakai untuk merangkai kata atau imbuhan dengan singkatan yang berupa huruf kapital. Misalnya hari-H, sinar-X, ber-KTP, atau di-SK-kan.
Bentuk terikat yang diikuti oleh kata yang berhuruf awal kapital atau singkatan yang berupa huruf kapital dirangkaikan dengan tanda hubung. Misalnya non-Indonesia, pan-Afrikanisme, pro-Rusia, non-ASEAN, atau anti-IMF.
Hal sama berlaku pada kata ganti untuk Tuhan, yakni -Mu dan -Nya. Kata ganti Tuhan selalu menggunakan huruf kapital, maka penulisannya harus memakai tanda hubung. Misalnya: Lindungilah hamba-Mu ini. Atau: Dia selalu melindungi hamba-Nya.
Kita masih berkutat pada pemisahan huruf kecil dari huruf kapital atau sebaliknya. Tanda hubung dipakai untuk merangkai kata ganti -ku, -mu, dan -nya dengan singkatan yang berupa huruf kapital  Misalnya: KTP-mu, SIM-nya, STNK-ku.
Akan tetapi, hati-hatilah karena tanda hubung tidak dipakai di antara huruf dan angka jika angka tersebut melambangkan jumlah huruf. Misalnya: BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia). Atau: P3K (pertolongan pertama pada kecelakaan).
Terakhir, tanda hubung dipakai untuk merangkai se- dengan kata berikutnya yang dimulai dengan huruf kapital. Jadi, penulisan seIndonesia, seJakarta, atau seMakassar jelas-jelas keliru. Penulisan yang tepat adalah se-Indonesia, se-Jakarta, atau se-Makassar.
Keempat, memisahkan huruf dari angka atau sebaliknya. Tanda hubung dipakai untuk merangkai angka dengan -an. Misalnya pada 1950-an, sejak 2000-an, atau menghadiri peringatan 17-an. Jadi, bukan 1950an, 2000an, atau 17an.
Selain itu, tanda hubung dipakai untuk merangkai ke- dengan angka. Misalnya: peringkat ke-2, antrean ke-31. Dengan demikian, jelaslah bahwa penulisan "Selamat Ulang Tahun ke 73 RI" keliru. Penulisan yang tepat adalah "Selamat Ulang Tahun ke-73 RI".
Terakhir, tanda hubung dipakai untuk merangkai huruf dan angka. Inilah kekeliruan terbesar pengguna bahasa Indonesia Indonesia. Masih jarang kita baca penulisan seperti D-3, S-1, atau S-2. Padahal, itulah yang tepat. Rata-rata yang kita baca adalah D3, S1, atau S2.
Kelima, mempertegas pengejaan dan pemenggalan kata. Tanda hubung dipakai untuk menyambung tanggal, bulan, dan tahun yang dinyatakan dengan angka atau menyambung huruf dalam kata yang dieja satu-satu. Misalnya:Â 11-11-2013, k-a-t-a-h-a-t-i.
Selain itu, tanda hubung dipakai untuk menandai bagian kata yang terpenggal oleh pergantian baris. Akan tetapi, perhatikan aturan pemenggalan kata. Pemenggalan kata yang menyebabkan munculnya satu huruf di awal atau akhir baris tidak dilakukan. Misalnya:
Tanda hubung juga digunakan untuk menandai bentuk terikat yang menjadi objek bahasan. Misalnya: Kata pasca- berasal dari bahasa Sanskerta. Atau: Akhiran -isasi pada kata betonisasi sebaiknya diubah menjadi pembetonan.
Itulah enam aturan penggunaan tanda hubung. Pada akhirnya, taat atau tidak pada kaidah tata bahasa tentu berulang pada pengguna bahasa Indonesia.
Tidak beda jauh dengan taat pada aturan berlalu lintas. Helm digunakan bukan lantaran kita takut kepada polisi, melainkan demi keselamatan diri sendiri. Itu sekadar contoh.
Menulis juga begitu. Tanda hubung kita gunakan supaya tulisan kita lebih rapi dan makin mudah dicerna maknanya oleh pembaca.
Sebagai penutup, saya ingin mengudar kesalahan kita yang sering menukar pemakaian tanda hubung (-) dan tanda pisah (--). Sebenarnya tanda hubung tidak dipakai di antara dua bilangan, tanggal, atau tempat yang berarti 'sampai dengan' atau 'sampai ke'. Â
Perhatikan contoh ini: Pada halaman 5-10. Atau: Bogor-Bandung. Penggunaan tanda baca yang tepat pada contoh tersebut adalah tanda pisah. Saya minta maaf karena belum tahu cara menampilkan tanda pisah yang tepat di Kompasiana. Silakan cermati tabel berikut.
Kandangrindu, 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H