Pada mulanya, penanda kata ulang menggunakan angka /2/. Kaidah itu berlaku pada Ejaan van Ophuiysen dan Ejaan Soewandi, kemudian diubah menjadi tanda hubung (-) dalam Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Ejaan Bahasa Indonesia. Perhatikan contoh berikut.
Angka bertemu huruf harus dibubuhi tanda hubung. Contoh: 17-an (benar), 17an (keliru).
Cinta mesti dibubuhi setitik cemburu, sedikit cemas, dan secuil curiga agar rasa rindu mencuat.
Dengan demikian, mestinya kita tidak menggunakan penanda kata ulang yang sudah tidak berlaku atau sudah kita tinggalkan. Layaknya mantan. Tidak usah direcoki lagi dengan bujukan agar kembali. Biarkan mantan bahagia dengan hidupnya sekarang. Oke?
Ada segilintir di antara kita yang masih lalai membubuhkan tanda hubung. Ada pula yang masih memakai ejaan lama, seolah-olah belum rela meninggalkan kenangan lama. Entah belum tahu, entah pura-pura tidak tahu. Yang pasti, kekeliruan masih sering terjadi.
Penanda kata ulang dengan angka (2) sudah lama ditinggalkan. Jadi, tanggalkan. Gunakan tanda hubung sebagai pengganti. Bukan hanya dalam tulisan resmi atau formal, melainkan sekaligus pada tulisan takresmi atau informal. Ini pembiasaan.
Bukankan bisa kalah karena biasa? Seberbisa apa pun racun ular tidak akan berarti apa-apa bagi mereka yang terbiasa padanya. Itu faedah pembiasaan.
Jika kita menyetir mobil atau mengendarai motor di jalan, suka tidak suka kita harus peduli pada rambu-rambu. Kalau tidak, niscaya suasana jalanan kusut kasau atau sangat kacau.
Menulis juga begitu. Ada kaidah, ada aturan. Mau tidak mau, kita harus peduli pada kaidah atau aturan itu. Kalau tidak, tulisan kita akan kusut kasau alias sangat kacau.
Mari kita babar penggunaan tanda hubung. Biar jelas, biar terang.
Pertama, penyambung kata ulang. Kata ulang ditulis secara lengkap dan utuh dengan menggunakan tanda hubung (-) di antara unsur-unsurnya. Misalnya: