Bulan ini, pada 73 tahun lalu, Republik Indonesia merdeka. Sebagai wujud rasa cinta pada Ibu Pertiwi, pasti bakal bertaburan ucapan selamat. Dari rakyat hingga pejabat. Dari warganet hingga warga RT. Dari yang merdeka hingga yang terpenjara.
Mulut-mulut gang akan dihiasi gapura bercat merah-putih dengan merah di atas dan putih di bawah. Sebagian membangun gapura dari batang-batang bambu yang diruncingkan sedemikian rupa. Konon, sebagai simbol perjuangan pendahulu kita yang dilambangkan memakai bambu runcing.
Kantor-kantor pemerintahan akan dihias sedemikian meriah. Kadang dengan kain merah putih yang panjang dan berumbai-rumbai. Kadang dengan umbul-umbul atau panji-panji berwarna merah-putih. Pendek kata, semarak sekali.
Ruang-ruang publik dan fasilitas-fasilitas umum pun menggeliat. Cat pagar yang sudah lamur segera dilabur atau dipulas dengan cat tembok atau kapur agar tampak baru dan cerah lagi. Pendek kata, harus cerah. Peringatan Hari Kemerdekaan tidak boleh suram atau muram. Itu saja.
Ucapan-ucapan selamat pun bertaburan di mana-mana. Ada yang menulis "HUT RI KE-73'. Ada juga "Dirgahayu RI KE-73'. Bahkan, ada yang menulis "Dirgahayu dan Panjang Umur RI ke-73".
Ya, ada. Itulah sebabnya saya menjuduli esai remeh ini dengan Selamat Datang Bulan Kesalahan Berbahasa Indonesia. Mengapa? Ucapan selamat itu tidak logis dan menyalahi kaidah berbahasa Indonesia.
Adakah yang peduli pada kekeliruan itu?Â
Ya, ada. Saya di antaranya. Bayangkan saja. Figur tenar yang kerap disorot kamera dan menjadi pusat berita sering mengutarakan ucapan selamatnya secara keliru. Lantas banyak yang menirunya. Begitu berulang-ulang. Setiap tahun.
Apanya yang keliru?Â
Peletakan ke-73. Sebenarnya itu penanda usia, bukan urutan. Penempatannya akan menentukan maknanya. Jika kita salah taruh, maknanya akan bergeser menjadi 'penanda urutan' atau 'penanda jumlah'.
HUT RI KE-73. Posisi 'ke-73' ditaruh setelah RI. Dengan demikian, tanpa sadar kita menyatakan bahwa RI itu banyak. Bisa 73, bisa 173. Jika peletakan 'ke-73' di belakang RI maka yang sedang berulang tahun adalah RI yang ke-73. Mungkin bulan besok, September 2018, giliran RI ke-74 yang berulang tahun.
Bagaimana penulisan yang tepat?Â
Mudah sekali. Geser saja 'ke-73' itu ke belakang HUT. Jadi, "HUT KE-73 RI". Dengan demikian, 'ke-73' menerangkan kata 'HUT'. Bukan menjelaskan jumlah 'RI'. Jikalau ada yang iseng menanyakan HUT yang keberapa, tentu akan gampang kita jawab. Tahun ini HUT ke-73.
Hal serupa terjadi pada ucapan "DIRGAHAYU RI KE-73". Ubah saja posisi 'ke-73' dan letakkan setelah 'dirgahayu'. Tidak ada yang susah. Bagaimana kalau sudah telanjur ditulis dan dipampang? Ganti saja. Harga cat tidak seberapa dibanding nasionalisme kita yang mengolok-olok RI apabila salah taruh 'ke-73'.
Lain soal jika kita mengatakan "Selamat Ulang Tahun Anto ke-73". Ya, boleh jadi kita punya ratusan sahabat atau kerabat yang bernama Anto. Kebetulan saja yang sedang berulang tahun ialah Anto yang ke-73. Beres perkara.
Bagaimana kalau ternyata Anto cuma satu? Penulisannya keliru. Yang tepat: Selamat Ulang Tahun ke-73, Anto". Akan tetapi, rasanya mustahil kita cuma punya seorang teman yang bernama Anto. Mungkin ada yang bernama Mugiyanto, Supriyanto, Apriyanto, atau Haryanto.
Mungkin ada segelintir di antara kita yang berpikir buat apa hal sesepele itu diurusi. Mungkin, ya. Tidak apa-apa. Biarkan saja. Yang penting segelintir yang lain sudah menyampaikan bahwa "ada sesuatu yang keliru" dan "berusaha memperbaiki kekeliruan tersebut".
Bila untuk urusan sepele saja kita tidak becus menanganinya, bagaimana kita berharap mampu mengurus perkara-perkara rumit dan pelik? Kalau yang ringan-ringan saja berasa berat bagi kita, bagaimana kita bermimpi mengangkat yang berat-berat?
Sesederhana itu.
Jika ingin tahu penulisan yang tepat, silakan tilik gambar berikut.
Lalu bayangkan ada berapa RT se-Indonesia.
Kemudian, alihkan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang kemudian dituruti oleh rektor-rektor, kepala-kepala sekolah, dan wali-wali kelas. Belum lagi jika ada ratusan murid dalam satu sekolah yang ikut-ikutan keliru.
Itu sekadar contoh. Sekadar, ya, bukan sekedar. Kendatipun ada yang berusaha mengudar kekeliruan tersebut, belum tentu kesalahan berkurang. Tidak apa-apa. Setidaknya kita sudah berusaha. Yang penting tidak ikut keliru. Keliru kok diikuti!
Kandangrindu, 2018