Kamu pasti tidak suka dipaksa-paksa oleh seseorang, bahkan oleh orangtuamu sendiri. Begitu pula nasib kata. Gara-gara tidak ingin dipaksa menjadi gegara, sungguhpun kaum alay dan para elite medsos kerap memakai gegara.
Supaya hatimu puas dan tidak penasaran lagi, imbuh Tami lewat WA, silakan baca tulisan ini.
Sunyi masih sendirian di halaman, Tami masih sendirian di beranda. Ayahnya terperangkap macet, ibunya tidak boleh diganggu karena harus mengoperasi pasien. Sementara itu, Rangga belum juga bisa dihubungi. Ada Icha, tetapi temannya tidak merenspons jawaban atau tautan yang ia kirim.
Terimakasih, Tami. Tautan yang kamu kirim sangat mencerahkan. Jawabanmu juga sangat memuaskan.
Tanpa berpikir panjang, Tami langsung menjawab.
Terima kasih, bukan terimakasih. Pisahkan keduanya. Mereka belum muhrim. Jangan biarkan berdua-duaan, apalagi dempet-dempetan selekat itu, sebab setan bisa muncul menjadi pihak ketiga. Repot nanti. Siapa yang akan bertanggung jawab kalau terjadi hal-hal yang diinginkan?
Kali ini muncul emot tertawa di layar gawai, berbaris rapi hingga tiga susun, dan diakhiri dengan emot geliat balerina yang berdansa riang. Jemari Tami kembali menari di atas gawai. Kali ini ia menulis pesan buat Remba, meskipun ia tahu pesannya tidak akan langsung dibaca oleh lelaki yang dicintainya itu.
Ia ceritakan perasaannya yang sempat tersinggung karena dituduh pembohong oleh Icha. Ia ceritakan tentang sunyi yang menyungkupi halaman. Ia ceritakan soal dirinya yang sendirian di beranda. Ia ceritakan rindunya yang sudah bertumpuk-tumpuk.
Setelah mengirim pesan lewat WA, matanya memejam. Ia teringat alangkah tabah Remba menjawab pertanyaan-pertanyaan recehnya tentang bahasa Indonesia. Ia tersentak dan tergeragap ketika ponsel di genggamannya bergetar.
Terima kasih, Tami. Sudah kupisah terima dari kasih sebab, seperti katamu, keduanya bukan muhrim. Padahal aku takut mereka berantem. Puas?Â
Kandangrindu, 2018