Meski begitu, penggemar Kroasia di Indonesia tidak perlu mengajukan gugatan ke MA gara-gara hadiah penalti untuk Prancis. Terima kekalahan dengan lapang dada. Tunjukkan kebesaran jiwa dengan sepenuh cinta. Itulah esensi sportivitas.
Begitulah. Prancis juara, Kroasia juga juara.
Kegagalan sesekali perlu dirasakan dan dirayakan. Dirasakan agar kita tahu perihnya kalah, dirayakan supaya kita paham indahnya bangkit.Â
Tidak selamanya yang kita harapkan akan dikabulkan oleh Penguasa Semesta. Jika yang kita dapati hanya rangkaian kemenangan, kita tidak akan matang. Gagal hadir supaya kita lebih mengenali diri sendiri ketika terpuruk.Â
Sama seperti petuah tenar, "cinta tidak selamanya harus memiliki". Ya, Kroasia memang sudah tiba di laga pamungkas. Segala-gala sudah mereka kerahkan. Namun, hasil akhir tidak sesuai harapan.
Madzukic yang menjadi pahlawan kemenangan Kroasia pada babak semifinal, seketika memberikan keuntungan bagi Prancis dengan sebuah gol bunuh diri. Nasib memang sulit ditebak.Â
Perisic yang berhasil meledakkan kembali daya juang Kuda Hitam dari Balkan, tiba-tiba tangannya menyentuh bola dan penalti buat lawan. Takdir memang sukar diterka.
Keteguhan memegang prisip memang penting sebagai azimat alias jimat. Deschamps tamat dalam perkara sedemikian. Ia perintahkan anak asuhnya untuk menunggu agak dalam, bertahan dengan rapat, lalu menyerang balik secepat-cepatnya. Tendangan bebas yang dieksekusi oleh Griezmann dan menghasilkan gol bunuh diri adalah bukti sahih kemenangan strategi bermain taktis.Â
Kecerobohan Lloris, yang menyebabkan lahirnya gol Mandzukic, tidak perlu dibesar-besarkan. Kita memang acapkali lebih peduli pada kesalahan seseorang, tetapi kita harus mengingat perjuangan Sang Kapten hingga gelar juara diraih.Â
Umtiti dan Varane sudah bekerja dengan baik sebagai tembok kembar yang tegar. Matuidi dan Kante sudah menunjukkan kerja keras, walaupun akhirnya ditarik keluar.Â