"Kamu cantik," kata ibunya lagi, kali ini agak pelan sebagaimana ibu-ibu lain membujuk anak gadis mereka, "Ibu yakin banyak yang mau meminang kamu!"
Tami mendongak, menatap ayahnya yang duduk menekur di samping ibunya. Tetapi ayahnya hanya mendesah. Tak lebih, tak kurang.
Merasa di atas angin, ibunya berkicau. "Kalau kamu mau, Ibu bisa kenalin kamu dengan cowok-cowok keren dan mapan. Teman-teman Ibu punya anak-anak cowok yang ganteng. Ada arsitek, dokter, kontraktor, dan lain sebagainya. Kamu tinggal tunjuk, Ibu yang urus!"
Kuping Tami kembali berdenging. Kali ini gara-gara dan lain sebagainya yang mengalir deras dari bibir ibunya. Ia tidak sanggup lagi menahan diri.
"Tidak ada ungkapan dan lain sebagainya dalam bahasa Indonesia, Bu. Itu rancu...."
"Itu yang kamu dapat dari Remba," sela ibunya dengan mata mencorong. "Makan itu bahasa Indonesia!"
Ibunya berdiri, meninggalkan dengus yang mendengung di udara, dan kelepak sandal di lantai bagai sepasang kepalan yang menonjok-nonjok dada Tami. Ayahnya berdiri tanpa berkata apa-apa. Hanya mengedikkan bahu.
***
Pening di kepalanya berkurang. Ia tersenyum saat teringat gerutuan ibunya tentang puisi yang, kata ibunya, mustahil dipakai membeli lipstik, bedak, pensil alis, dan sebagainya.
Jemarinya menari di layar gawai. Ia ceritakan tentang kekeliruan ibunya dalam menggunakan ungkapan dan lain-lain, dan sebagainya, serta dan seterusnya. Ia ingin tahu tanggapan Remba. Segera ia kirim pesan lewat WA.
Getar gawai mengejutkan Tami. Buru-buru ia buka balasan pesan dari Remba.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!