(Kuanggit prosa lirih ini ketika gemintang Jerman di Rusia kehilangan cahaya dan kejutan Kotak Kosong di Makassar merasuki pikiranku.Â
Tetapi ada yang duluan menduduki pikiranku. Kamu!)
Tentang Debu di Jendela Rasa
Kaca jendela rasaku kotor. Buram karena debu cemburu. Muram karena bebutir benci. Suram karena repih kecewa. Untung dadaku dihangatkan dan disangatkan hujan sendu.
Hujan yang seharian tumpah di pekaranganmu adalah sendu yang ditiup angin rinduku. Hujan yang isinya debu cemburu, Â bebutir benci, dan repih kecewa. Semuanya digerakkan perih doaku agar tumpah di dadamu.
Aku percaya hatimu bukan salju beku. Bukan pula batu gagu. Aku percaya hatiku bukan serbuk sepi. Bukan pula berantak sunyi. Kamu, seguruh degup yang menopang jantungku. Aku, seluruh debu yang memburamkan kaca heningmu.
Tentang Rindu yang Membutakan dan Membatukan Rasa
Di sekitar kita terlalu banyak orang yang melantik diri selaku hakim bagi orang lain. Mencaci seenaknya, menggunjing semuanya. Mencela kebaikan, mencerca kearifan. Mereka seketika hakim-hakim berkepala batu. Yang berlidah sembilu, yang berbibir gunting.
Tetapi rindu mengajariku Ilmu Menahan Diri. Dijejalinya pedihku dengan kepekaan dan kepedulian. Tidak asal bicara, tidak asal bertindak. Tahu waktu yang tepat untuk berbicara, tahu saat yang pas untuk bertindak.
Rindu juga mengingatkanku pada faedah Menahan Diri. Diajaknya hatiku supaya rajin mencari jalan ke dalam. Maka tertemu kini kesalahan diri. Diserunya hatiku supaya segera melupakan jalan ke luar. Maka terlupa sekarang kesalahan orang.
Rindu membisiki hatiku dengan seruntun pesan. Hanya dua tahun untuk belajar berbicara, tetapi butuh lima puluh tahun untuk belajar tutup mulut. Kata rinduku, itu petuah Hemingway.
Tetapi bagiku, dua tahun atau lima puluh tahun sama saja. Aku selalu sulit menahan diri atas satu hal: Mencintaimu!
Tentang Masa Lalu dan Ketabahan Rasa
Setiap orang punya masa lalu, pahit maupun manis. Namun, bukan itu yang ingin disampaikan cintaku kepadamu.Â
Di luar sana, ada orang lain yang merasa berkuasa atau diberi kuasa untuk menerakan cap baik atau buruk karena masa lalu orang lain. Atas masa lalu yang pahit atau manis itu, seseorang--termasuk kamu dan aku, atas nama hidupnya sendiri--berhak terus berjalan, walaupun berkali-kali terbentur dan terjatuh.
Sejatinya orang lain tak usah berpayah-payah mencibir, menghina, atau merisak nasib yang lain. Sebab yang sekarang terlihat manis, besok-besok bisa terasa pahit. Setiap orang punya kehidupan pribadi. Orang lain tidak perlu menjadi hakim atas takdir orang lain.
Yang kutakutkan, kamu menjadikan masa laluku--berdasarkan apa yang kaulihat sekarang dan apa yang kaudengar dari orang lain--sebagai pertimbangan dalam menakar cintaku. Jangankan tabiat, wajah saja bisa diubah. Yang pesek bisa sangat mancung, yang keriput jadi kencang, yang hitam jadi putih, yang temben jadi kisut. Aku bisa berubah, kamu alasannya. Kau juga bisa berubah, akulah alasannya.Â
Kenangan mengajari kita cara mengambil jarak dari rasa panik, takut dan kecewa, akibat sekarat masa lalu. Aku mengajakmu, sekarang juga, menjauh dari getir masa lalu.
Tentang Kita yang Moga-moga Abadi Satu Rasa
Banyak hal yang tidak kuasa dituturkan lidah dan mataku, akhirnya disampaikan oleh penaku. Rinduku, misalnya. Dalam perkara menyatakan rindu, penaku lebih lincah dibanding mata dan lidah. Kau tahu itu, meskipun tak pernah kukatakan atau kunyatakan.
Bagaimana denganmu? Jika mata dan lidahmu tak mahir menyatakan perasaanmu kepadaku, kamu punya bunga. Kau bisa menyatakannya lewat bunga. Tak ada yang susah apabila kamu memang mau menyatakan perasaanmu kepadaku.
Persoalannya cuma satu. Adakah kamu merasakan cinta yang sama seperti yang kurasakan?
(Ketika prosa lirih ini selesai kuanggit, para penghitung cepat sudah memampang hasil pilkada. Kandidat yang unggul segera menyampaikan pidato kemenangan. Tim Sukses Jerman barangkali sudah tiba di kampung dan menyepak air mata.
Kita belum memenangi apa-apa selain hati yang dikayakan cinta.)
Kandangrindu, 2018