Kamu tahu sebabnya? Aku terkesima pada caramu mengelola kemarahan. Sungguh memesona. Hatimu penuh ketenangan dan kelembutan. Penuh permaafan dan pengampunan. Padahal, risiko akibat cedera itu dapat mengancam peluangmu ke Rusia.
Tuhan mendengar dan mengabulkan doamu. Kamu sembuh dan bisa turun ke lapangan kala negaramu melawan Rusia.
Sehat selalu, Mo.
(Ketika bagian ini kutulis, aku baru saja menyeduh kopi. Ada pahit dalam kopi, Mo, tapi masih saja dicintai dan dicari-cari. Hidup juga begitu. Meski jatuh berkali-kali, kita tidak pernah jera untuk berusaha bangkit.
Aku pernah membaca kisah masa kecilmu. Kisah itu mengapung di permukaan kopiku dan mengepung pikiranku. Kamu sudah mengungkit harapan anak-anak Mesir, dan mereka sekarang merawat harapan setabah merawat doa.)
Akhirnya kamu tampil melawan Rusia. Kukira kamu masih ragu-ragu. Kukira kamu masih takut-takut. Kukira kamu masih agak trauma.
Bahwa kamu masih ragu pada awal babak pertama, aku tahu musababnya. Bayangan cederamu dapat kambuh sewaktu-waktu pasti menghantui pikiranmu.Â
Lalu, pelan-pelan kautemukan nyali. Keren. Berhasil melawan rasa takut itu luar biasa. Lalu, sepakanmu melenceng tipis di sisi kanan gawang Rusia. Kurasakan dadaku sesak.Â
Gol tumpah ke dalam gawang negaramu. Gol bunuh diri dari lutut sang Kapten. Kukira Tuhan mengujimu. Kukira ujian itu dapat kamu pikul. Kamu sudah merasakan sakit sejak kecil dan berhasil melewatinya. Maka, kamu pasti sanggup melewati pahitnya angkat kaki lebih awal.
Kuat selalu, Mo.