/1/
(Seorang teman bertanya-tanya tentang sikap setelah ditolak. Aku berduka atas deritanya. Sayang sekali, aku bukan penguasa yang berkuasa menentukan segala. Maka, kutulis prosa lirih untuknya.)
Jika yang kaucintai ternyata tidak mencintaimu, jangan marah. Apalagi sampai berniat memaksakan cinta, melakukan apa saja demi cinta, atau mengejar-ngejar hingga ke ujung dunia. Kambing saja menolak dipaksa bermain hujan.Â
Cinta murni bukan dari hasil pemerasan keinginan. Apalagi dengan menempuh segala cara, seperti mengintimidasi atau menakut-nakuti agar yang kaucinta tersiksa dan akhirnya, terpaksa, menerima cintamu.
Jika yang kaucintai ternyata mencintai orang lain, jangan marah. Apalagi sampai gelap mata, lalu mendadak kepo--dengan mencari tahu pelbagai hal atas yang kaucintai--kemudian kaubuka aib yang kaucintai itu.Â
Apabila kamu dikecewakan atau disakiti, periksa kembali kesehatan perasaanmu. Hati-hati. Kadang kita menduga mencintai seseorang, padahal sebenarnya kita mencintai diri sendiri.Â
/2/
Cinta itu aktivitas merelakan. Itu sebabnya aku tak akan marah meskipun kamu tidak mencintaiku.
Punggung cuma salah satu bagian dari tubuh. Sama seperti kepala. Tetapi dalam hal mencintai, memunggungi berbeda dengan mengepalai. Dengan demikian, dipunggungi tidak sama dengan dikepalai.
Kau sedang merasakannya. Kaupeluk lututmu, ia peluk lutut lelakinya. Ia tenang meninggalkanmu, kausenang menunggalkannya. Ia riang bersama lelakinya, kau meriang karena mengangankan dan menginginkannya. Ia memunggungimu, kaupandangi punggungnya.Â
Begitulah punggung kalian.
Dalam cinta, banyak hal receh yang membahagiakan. Kecupan di kening, misalnya.Â
Dalam cinta, banyak hal remeh
yang menyakitkan. Pesan tidak dibalas, misalnya.
Barangkali engkau ingin bertanya tentang silap hati.
Baiklah. Dua kata itu mewakili perasaanmu saat ini. Pernahkah kauajak seseorang, yang kaucintai, makan berdua denganmu di suatu tempat, kemudian di luar hujan amat deras, tetapi percakapanmu berlangsung tak seromantis yang kauharapkan?
Kemudian, mata orang yang kauajak makan itu tiba-tiba bercahaya dan kau berbahagia karena mengira kaulah penyebab matanya sebercahaya itu, lalu kamu terpukul setelah sadar kalau matanya bercahaya karena seseorang yang sedang ia temani bicara di layar gawainya.
Itu sebabnya engkau silap hati. Keadaan yang membuat hatimu tidak ingat apa-apa selain kehampaan, kekosongan, dan kesedihan, lalu ingin segera pulang, mencari bantal, dan menenggelamkan diri dalam mimpi tak berkesudahan.
Tetapi kau tidak usah marah, karena marah-marah tak keruan itu pekerjaan orang lemah syahwat. Lagi pula, kautahu bahwa kemarahan tidak bisa menyelesaikan masalah. Alih-alih menyelesaikan, kemarahan dapat memicu masalah baru.Â
Engkau hanya perlu melakukan satu hal yang lazim dilakukan para nabi dan sufi: bersabar.
/4/
(Setelah prosa lirih ini rampung, segera kukirim kepadanya lewat WA. Tak ada komentar. Kukira ia tengah mengeja pedih perih di dadanya.
Tiba-tiba dadaku berasa amat perih. Aku merasa dikhianati sepi. Sunyi yang biasa kujadikan puisi kini menceramahiku.)
Rindu menyeretku ke perbatasan kesadaran dan mimpi.
Mungkin kaukira kalimat itu berat atau njelimet. Tidak. Ini soal tiga hal saja: rindu, kesadaran, dan mimpi. Tidak ada yang berat dari ketiganya. Tidak ada yang njelimet.Â
Kamu pasti tahu arti rindu. Jika belum, cari tahu artinya ketika kita berjauhan dan kamu merasa sangat ingin bertemu denganku, berdekatan denganku, dan mengobrol denganku.Â
Kamu juga pasti tahu arti mimpi. Jika belum, cari tahu artinya ketika kamu sedang tidur lelap dan kamu melihatku sedang berjalan-jalan di pekarangan tidurmu, membacakan puisi-puisi cinta, kemudian menyanyikan lagu-lagu rindu, kemudian kamu terbangun dan aku tidak ada di sisimu.
Lalu, apa arti kesadaran? Kesadaran adalah segala hal yang kualami ketika kamu jauh dariku. Pada saat seperti itu, sesak memampatkan dada. Rasanya aku tak berani menunggu matahari terbit karena tahu besok kita belum tentu bisa bertemu.Â
Kemudian, mimpi mempertemukan kita. Kemudian, aku sadar bahwa itu cuma mimpi. Tetapi rindu menyelamatkan hatiku. Makin ganas jarak menjauhkan, makin gesit rindu mendekatkanmu padaku.
/5/
(Sekarang sunyi membunyikan pedih. Lantang sekali di telinga. Seperti klakson kendaraan yang menyebalkan. Ada yang dipedihkan perpisahan. Aku!)Â
Kadang kita wakilkan rasa pada kata-kata yang berbaris di buku. Kita mengejanya seperti kita merawat harapan. Tetapi, tidak semua kata melompat ke dalam kepala. Sebagian menolak dipahami dan dimaknai. Huruf-huruf melompat dari buku. Mereka mengeja takdirnya sendiri, mengaji tafsirnya sendiri.
Kita memang selalu merasa berkuasa atas kata. Merasa merdeka menerakan makna. Padahal, kata seperti rindu yang gemar bekerja dalam riuh yang sunyi. Atau cemburu yang beraksi dalam ricuh yang hening.
Kita masih dua kata yang disatukan cinta: kau dan aku. Pada kita ada kuasa Dia. Ya, Dia-yang-menyatukan-kita.
(Lupakan lima prosa lirih di atas. Lupakan saja. Karena hatikulah yang kini dirisak rindu.)
Kota Hujan, 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H