Tiba-tiba dadaku berasa amat perih. Aku merasa dikhianati sepi. Sunyi yang biasa kujadikan puisi kini menceramahiku.)
Rindu menyeretku ke perbatasan kesadaran dan mimpi.
Mungkin kaukira kalimat itu berat atau njelimet. Tidak. Ini soal tiga hal saja: rindu, kesadaran, dan mimpi. Tidak ada yang berat dari ketiganya. Tidak ada yang njelimet.Â
Kamu pasti tahu arti rindu. Jika belum, cari tahu artinya ketika kita berjauhan dan kamu merasa sangat ingin bertemu denganku, berdekatan denganku, dan mengobrol denganku.Â
Kamu juga pasti tahu arti mimpi. Jika belum, cari tahu artinya ketika kamu sedang tidur lelap dan kamu melihatku sedang berjalan-jalan di pekarangan tidurmu, membacakan puisi-puisi cinta, kemudian menyanyikan lagu-lagu rindu, kemudian kamu terbangun dan aku tidak ada di sisimu.
Lalu, apa arti kesadaran? Kesadaran adalah segala hal yang kualami ketika kamu jauh dariku. Pada saat seperti itu, sesak memampatkan dada. Rasanya aku tak berani menunggu matahari terbit karena tahu besok kita belum tentu bisa bertemu.Â
Kemudian, mimpi mempertemukan kita. Kemudian, aku sadar bahwa itu cuma mimpi. Tetapi rindu menyelamatkan hatiku. Makin ganas jarak menjauhkan, makin gesit rindu mendekatkanmu padaku.
/5/
(Sekarang sunyi membunyikan pedih. Lantang sekali di telinga. Seperti klakson kendaraan yang menyebalkan. Ada yang dipedihkan perpisahan. Aku!)Â
Kadang kita wakilkan rasa pada kata-kata yang berbaris di buku. Kita mengejanya seperti kita merawat harapan. Tetapi, tidak semua kata melompat ke dalam kepala. Sebagian menolak dipahami dan dimaknai. Huruf-huruf melompat dari buku. Mereka mengeja takdirnya sendiri, mengaji tafsirnya sendiri.
Kita memang selalu merasa berkuasa atas kata. Merasa merdeka menerakan makna. Padahal, kata seperti rindu yang gemar bekerja dalam riuh yang sunyi. Atau cemburu yang beraksi dalam ricuh yang hening.