Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Klakson dan Jalan Tol Pak Jokowi

10 Juni 2018   13:34 Diperbarui: 26 Mei 2019   14:43 2006
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: komikkita.com

Jika Anda punya riwayat vertigo atau mudah sakit kepala, hindari berselancar terlalu lama di Twitter. Hindari pula gulir layar naik-turun. Ramadan tidak membuat warga internet halus budi atau santun tutur. Ejek-mengejek, hina-menghina, bahkan caci-mencaci terus terjadi. 

Mudik. Mulang udik. Ritual sakral tahunan bagi anak rantau ini pasti menyedot perhatian. Dari zaman Soekarno hingga era Jokowi. Dari macet hingga ingar-bingarnya. Dari mulai berangkat hingga para pemudik kembali. Tiap tahun selalu begitu.

Tentu saja tidak semua anak rantau mudik tiap menjelang Lebaran. Ada yang tetap memilih Lebaran di perantauan. Alasannya berbeda-beda. Entah karena kedua orangtua sudah tiada di kampung, entah karena tidak punya biaya perjalanan dan bekal selama di kampung. Meski begitu, kabar mudik selalu menarik. Tiap tahun selalu begitu.

Akan tetapi, ada yang berbeda tahun ini. 

Tengoklah Twitter sejenak. Ingat, sejenak saja. Terlalu lama di linimasa dapat mengancam keselamatan pikiran jernihmu. Terlalu banyak perdebatan dan pertengkaran. Ihwal sepele saja dikupas panjang-lebar. Perkara sepele dipenting-pentingkan. Yang penting malah disepelekan. 

Mengapa saya meminta Anda melongok Twitter? Ya, soal mudik tahun ini. Pada tahun-tahun sebelumnya, Twitter jadi medsos yang asyik buat tukaran kabar. Jalan macet dibagi di linimasa. Ada kecelakaan banyak yang turut berkabar. Tahun ini tidak. Boro-boro tukaran kabar, Twitter malah jadi ring tempat warganya gontok-gontokan dan cakar-cakaran. 

Siapa yang gontok-gontokan dan cakar-cakaran itu? Ini dia pokok masalahnya. Barangkali Anda pernah mendengar istilah cebong dan kampret. Ya, dua istilah ini diambil dari nama binatang, kemudian disematkan pada pendukung Pak Jokowi dan lawan politiknya. Cebong bagi pendukung Pak Jokowi, kampret bagi yang anti pada beliau. Sebelumnya ada istilah bani taplak dan bani datar. Ada-ada saja, kan? 

Di sinilah akar perkaranya. 

Riuh-rendah perkara mudik ini dipicu oleh cuitan Mardani Ali Sera. Doi dari barisan anti-Jokowi. Masuk dalam golongan kampret. Wakil rakyat dari Fraksi PKS ini naik daun setelah menggadang tagar yang menyita perhatian. Tagar #2019GantiPresiden namanya. Tetapi, maaf, saya tidak akan menyigi makna, menyasar visi, dan menyelisik geliat tagar tersebut. Sekali lagi, maaf.

Mari kita sasar saja akar perkaranya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun