Ia sudah hidup bahagia walaupun orang-orang melihat hidupnya jauh di bawah sederhana.Â
Apakah menulis bisa menenteramkan hati ketika perut dicincang rasa lapar?
Yang sulit bagi penulis bukanlah menahan lapar. Itu perkara remeh. Yang tidak remeh adalah menyiapkan sebuah tulisan bernas dan cergas, sebab itu membutuhkan stamina dan daya nalar yang mumpuni. Yang tidak remeh adalah menggali inspirasi sebagai tumpuan sebuah tulisan yang akan dihadiahkan kepada pembaca, sebab itu meniscayakan kekayaan pikiran dan pandangan. Yang tidak remeh justru membekali diri dengan rupa-rupa bacaan pengaya, karena itu menyerap banyak biaya, waktu, dan tenaga. Yang tidak remeh justru mempersiapkan diri hingga sanggup menghasilkan tulisan yang kaya dan renyah dibaca, sebab itu memastikan kecermatan dan ketekunan.
Lapar bukan musuh bagi penulis. Lapar, sebut saja dengan nama yang lebih kejam:Â tidak punya uang, adalah musuh bagi keluarga atau orang-orang yang dicintai oleh si penulis. Imajinasi yang sudah menggelegak dapat mendadak runtuh ketika anak si penulis merengek-rengek karena kehabisan kuota. Inspirasi yang sudah mengalir sederas bah seketika beku dan pampat ketika istri si penulis merajuk-rajuk karena kehabisan pemerah bibir dan pensil alis. Gagasan yang sudah siap dituang ke dalam tulisan tiba-tiba sirna ketika dapur tidak mengepul lagi.Â
Si penulis barangkali kuat menanggung beban lapar, keluarganya belum tentu.Â
Bagaimana bisa menulis dalam kondisi ekonomi yang payah?
Mencintai hidup. Itulah jawaban singkatnya. Kalau butuh jawaban panjang, sungguh lama mengurainya. Maka, si Pemuda Menjelang 44 Tahun itu mulai mengerutkan kening.Â
Penulis, katanya, hanya butuh kesadaran. Penulis harus sadar bahwa ada sesuatu yang menggelisahkan batinnya. Anak yang butuh jajan dan keluarga yang butuh makan. Kesadaran itu akan mengantarnya pada hasrat menggebu-gebu untuk menghasilkan tulisan. Kesadaran itu juga kunci baginya memasuki deru imajinasi yang disukai pembaca sekaligus disukai jiwanya.Â
Kesadaran itu perlu pula ditularkan kepada orang-orang di sekitarnya, terutama mereka yang dicintainya. Sadar bahwa penulis tidak sepasti buruh atau pegawai yang jelas-jelas upahnya per bulan. Sadar bahwa penulis tidak semudah pedagang mengumpulkan receh. Sadar bahwa penulis bukan pesulap yang sanggup mengubah kertas koran menjadi selembar uang seratus ribu. Upah dalam bentuk royalti diterima enam bulan sekali. Itu pun jumlahnya tidak pasti. Tergantung keramahan pembaca. Kalaupun banyak pembaca yang membeli, negara sudah menunggu dengan tagihan pajak yang melangit.Â
Akan tetapi, membangun kesadaran itu tidaklah mudah. Sekalipun pohon kesadaran dapat membuahkan kesabaran, tidak banyak orang yang bersedia menanam pohonnya. Apalagi tekun merawatnya setiap hari. Tiap-tiap manusia butuh direken. Butuh dianggap ada. Para filsuf menyebutnya eksistensi. Inilah muasal keinginan. Dan, berpotensi menyusun lapisan-lapisan keinginan berikutnya.Â
Si Penulis Menjelang 44 tahun itu menghela napas. Hasrat menulis, katanya, tidak terlalu dipengaruhi oleh kondisi ekonomi. Memang ada pengaruhnya, tetapi ditilik dari sisi positif. Alih-alih meredakan gairah menulis, kepayahan ekonomi justru memantik dan memantek semangat.Â