Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Kata Remba "Mengubah", Bukan "Merubah"

4 Juni 2018   09:15 Diperbarui: 5 Juni 2018   13:44 1262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah lama Remba lupa memeluk dirinya sendiri. Selama ini ia terlalu memikirkan apa kata orang, sampai-sampai ia lupa pada kebahagiaannya sendiri. Apa saja yang ia lakukan harus seturut dengan kata orang tersebut. Akibatnya fatal. Ia merasa gagal menjadi dirinya sendiri. Ia merasa tidak pernah menjadi dirinya sendiri. Ia merasa ada, padahal sebenarnya tidak ada.

Semasa kecil, ia sering mendengar saran sanak-kerabatnya. Tirulah si anu, sekarang sudah anu karena dulu dia nganu. Kadang benak anak-anaknya ingin memberontak, tetapi anak kecil selalu dianggap bukan siapa-siapa oleh orang dewasa. Kalaupun ia berontak, ia segera dituduh mencari-cari perhatian. Tuduhan itu sering kali diakhiri dengan kalimat pamungkas yang menyakitkan. Lihat si anu, jadi anak mestinya begitu.

Remba belajar tabah. Kesedihan ia pendam sedalam-dalamnya. Ia simpan di dasar hatinya.

Setamat SD, ia merasa akan memasuki dunia baru yang lebih segar dan bebas. Dunia remaja namanya. Tetapi ia kecele. Tidak ada kesegaran, tidak ada kebebasan. Ia harus tetap menjadi yang bukan dirinya. Orang-orang dewasa di sekitarnya merasa berhak mengambil alih tugas dan kewenangan Tuhan. Orang-orang dewasa itu mengatakan ini dan menyatakan itu. Alasannya selalu sama. Ini demi kebaikanmu juga. 

Semasa SMA, orang-orang dewasa di sekitarnya mulai abai. Kadang-kadang ia mendengar nasihat, yang sebenarnya keluhan atau kepasrahan, semacam terserah kamu saja atau kamu akan tahu apa yang terbaik bagi dirimu. Sayang, nasihat itu kerap diikuti bisik-bisik di belakang telinga kepada teman sebayanya. Jangan tiru Remba. Seakan-akan ia suri teladan buruk yang negara akan rusak apabila pemuda lain meniru ulahnya.

Remba belajar tabah. Keperihan ia simpan serapat-rapatnya. Ia simpan di dasar sanubarinya. 

Sewaktu ingin kuliah dan memilih jurusan, orang-orang dewasa kembali muncul dengan segala kepintarannya. Kalau ingin masa depan cerah, kamu harus pilih jurusan ini. Ia turuti nasihat meredan mengabaikan minatnya pada sastra. Kata mereka, eksakta menunjukkan kecerdasan. Tetapi ia sudah bosan bengal. Tiba-tiba ia ingin menjadi penurut, meskipun diam-diam ia menyimpan hasrat menunjukkan siapa dirinya.

Semasa kuliah, ia jatuh cinta. Seorang perempuan menjatuhkan hatinya. Lagi-lagi ia dipaksa menjadi bukan dirinya. Terlalu banyak tuntutan, terlalu banyak harapan. Harus begini, harus begitu. Jika ia tampik keinginan pacarnya, petuah baru mencecar kupingnya. Mencintai itu harus mampu membahagiakan yang dicintai. 

Remba belajar tabah. Kepedihan ia telan sebulat-bulatnya. Ia peram di dasar kalbunya. 

Meski begitu, ia tidak bisa berdiam diri ketika kesalahan menjadi-jadi di sekitarnya. Ia tegur 0rang-orang yang sibuk kursus bahasa asing, namun tidak becus menggunakan bahasa Indonesia. Si Anu mengatakan mendramatisir, ia katakan bahwa yang tepat adalah mendramatisasi. Si mengatakan mempraktekkan, ia akan menyatakan bahwa kata yang benar adalah mempraktikkan.

Ia bahkan tidak peduli dianggap tidak gaul oleh teman main gaplenya. 

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
"Itu resiko terlalu kaku," kata temannya.

Remba tersenyum. "Kata itu keliru. Yang tepat risiko."

"Terserah kamu," ujar temannya. "Aku hanya ngasih saran."

"Kamu ingin saranmu kudengar?"

Temannya mengangguk. "Ya!"

"Aku juga begitu," timpal Remba. "Terimalah sanranku bahwa yang tepat adalah risiko, bukan resiko."

"Kamu memang susah merubah watak!"

Remba cengengesan. "Aku tidak mau jadi rubah, karena itu aku tidak mau merubah."

Temannya kebingungan. "Maksudmu?"

"Merubah berarti menjadi rubah. Aku ini manusia," sergah Remba, "jangan kausuruh menjadi rubah. Kalau maksud saranmu menjadi berubah, maka kata yang tepat adalah mengubah. Itu jauh maknanya, Sob!"

Temannya mendengus. Mulutnya membuka seakan ingin mengatakan sesuatu, tetapi mengatup lagi dan berjalan menjauhi Remba. Tidak ada kata perpisahan, tidak ada lambaian tangan. Remba geleng-geleng kepala. Alangkah banyak orang yang merasa bijak lalu menyuruh orang lain buat ini dan itu, tetapi tidak bersedia mendengarkan saran orang lain. Alangkah banyak orang yang ingin didengar, tetapi malas mendengar.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Ketika sedang tercenung, sebuah pesan muncul di layar gawainya.

"Apapun maumu, lakukan saja!"

Mendadak Remba tergelitik. Bukan karena ia ditinggalkan lalu dikirimi pesan, melainkan kebiasaan keliru temannya menggunakan partikel pun. Tatkala partikel pun diserangkaikan dengan kata lain, fungsinya akan menjadi kata sambung. Menjadi jembatan. Menjadi penghubung antar kalimat. Tetapi, itu hanya 12 kata. Dan, apa pun bukan kata sambung. 

Remba segera menuruti jemari dan otaknya yang gatal.

Selama tidak berfungsi sebagai penghubung, partikel pun harus dipisahkan dari kata yang diikutinya. Berhentilah menyatukan apa yang mestinya dipisah. Apalagi kalau belum muhrim. 

Ia tersenyum-senyum membaca pesan yang baru saja ia kirim. Namun hatinya belum puas, jemarinya kembali menari.

Hanya ada 12 kata yang partikel pun disatukan dengan kata yang diikutinya, yakni adapun, andaipun, ataupun, bagaimanapun, biarpun, kalaupun, kendatipun, meskipun, maupun, sekalipun, sungguhpun, dan walaupun. Selain itu, pisahkan. Mengapa disatukan? Karena menjadi kata penghubung. Alias menjadi jembatan. Kalau kata itu saja dipisah, bagaimana mereka menghubungkan kalimat atau frasa yang satu dengan yang lain? 

Berhentilah memisahkan sesuatu yang takdirnya memang harus disatukan, Sobat. Itu jahat. Tidak baik!

Entah mengapa ia merasa puas ketika pesannya sudah terkirim. Hatinya kian puas saat dua tanda centang menghiasi WA-nya. 

Hari ini dia merasa telah menemukan dirinya. Sebenarnya dia tak ingin mendramatisasi perasaannya, tetapi ia mulai berani mengkritik dirinya sendiri dan mengonfirmasi pangkal ketidakbahagiaannya. Ia berniat mempraktikkan teori yang baru dipahaminya: membahagiakan diri sendiri. Ia tidak ingin mengubah orang yang dicintainya menjadi seperti yang ia inginkan, namun ia juga tak ingin mengubah dirinya menjadi orang lain. Dan, ia mulai dari temannya. Ia merasa telah melepas topengnya. Ia merasa telah memeluk dirinya sendiri, sesuatu yang jarang ia lakukan selama ini.

Remba tahu risikonya. Mungkin orang-orang yang dicintainya akan membencinya, mungkin. Tak apa. Setiap orang berhak bahagia. Bukan pura-pura bahagia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun