Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Perkara Menjiplak dan Menghargai Tulisan

24 Mei 2018   19:35 Diperbarui: 25 Mei 2018   19:24 2190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap penulis pasti melewati proses kreatif. Suka dukanya niscaya berbeda. Ada yang berliku-liku, ada yang berpayah-payah. Tidak ada yang ujuk-ujuk tulisannya langsung jadi dan enak dibaca. Tak jarang ada penulis yang hampir putus asa sebelum akhirnya menyadari bahwa tulisannya layak dibaca khalayak.

Saya termasuk penulis yang amat berhati-hati, bahkan sekadar menulis di dinding fesbuk atau berkicau di twitter. Amel Widya, pepuja hati saya, tahu betul proses kelahiran sebuah tulisan yang saya anggit. Pelik. Tidak mudah. Tidak seperti menyulap saputangan menjadi burung atau menyeduh mi instan.

Tulisan La Beneamata dan Semangat Pantang Menyerah, misalnya. Tulisan itu lahir setelah saya lima kali menonton laga akhir Seri A antara Lazio dan Inter Milan di YouTube. Setelah menonton laga yang berakhir 2-3 bagi kemenangan La Beneamata itu, saya masih harus mengayakan bahan dengan membaca buku Nietzsche, Kierkegaard, dan Shindunata. Setelahnya, saya konsep dalam bentuk tulisan tangan.

Tangkapan Layar dari Laman Dinding Facebook | Dokumentasi Pribadi
Tangkapan Layar dari Laman Dinding Facebook | Dokumentasi Pribadi
Tulisan itu saya hajatkan untuk akun Kompasiana saya, namun saya pampang juga di fanpage facebook. Seusai ditulis tangan, saya sunting dulu sebelum saya ketik. Yang tiba di hadapan pembaca biasanya melewati tiga-empat kali penyuntingan. Jika tulisan bernasib baik dan berjodoh dengan penerbit, pasti saya sunting lagi. Ribet, bukan?

Tulisan tersebut lantas ditemukan oleh istri saya terpajang di dinding fesbuk orang lain. Tak ada kata yang berkurang, tidak ada juga yang bertambah. Kecuali nama saya yang dibuang. Ndilalah, ternyata tidak hanya satu tulisan yang diaku. Tulisan saya Tentang 'Di' juga nongkrong di dinding fesbuk doi. Namanya Iin Sugiarti AT. Sewaktu akan diklarifikasi, akun Kata Hati, fan page saya, dan akun Amel sudah diblokir oleh doi. Dicek oleh akun teman-teman ternyata doi tutup akun. Aduh!

Tangkapan Layar dari Laman Dinding Facebook | Dokumentasi Pribadi
Tangkapan Layar dari Laman Dinding Facebook | Dokumentasi Pribadi
Saya bukan orang yang pelit berbagi tulisan. Ada teman yang mau bagikan, saya malah bersyukur. Tetapi jangan dijiplak dan diaku karya sendiri. Pegal jari saya menulis dan mengetik. Penulis lain juga pasti penat berpikir dan menulis. Alangkah elok jika jerih pikir penulis itu dihargai. 

Apa susahnya mencantumkan nama penulis?

Tangkapan Layar dari Laman Dinding Facebook | Dokumentasi Pribadi
Tangkapan Layar dari Laman Dinding Facebook | Dokumentasi Pribadi
Pada 2010, sebuah cerpen saya kirim ke koran. Menunggu sebulan tidak ada kabar pemuatan atau penolakan. Saya kirimlah cerpen itu ke koran lain dan langsung dimuat. Tak dinyana, cerpen saya juga dimuat seminggu kemudian di koran yang pertama saya kirimi.

Celakanya, pada cerpen tersebut tidak terpajang nama saya. Penulis lain yang tertera namanya selaku pengarang. Paragraf pembuka ditambah. Latar tempat diganti: dari Bogor menjadi Lampung. Nama tokoh malah tidak berubah. Kampret. Cerpen saya tidak dimuat, begitu dimuat malah atas nama orang lain. Kontan saya ngadat. Sekarang saya merasa geli kalau mengingatnya.

Pada 2015, seorang penggemar penulis lain--yang kebetulan mengikuti akun twitter saya--bertanya tentang puisi Suatu Malam Ketika Aku Merindumu. Tak disangka, ada yang menuduh saya menjiplak karya penulis idolanya. Ajaib. Saya dituduh meniru puisi yang saya karang hampir 10 tahun. Geli euy!

Menghargai karya orang lain sebenarnya adalah laku menghargai diri sendiri. Sebaliknya juga begitu.

Apakah saya kesal kepada Iin Sugiarti AT? Seperti ujar saya di fesbuk kepada Boy Candra, saya tidak kesal. Ya, saya memang tidak kesal. Tetapi sangat kesal. []

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun