Setiap penulis pasti melewati proses kreatif. Suka dukanya niscaya berbeda. Ada yang berliku-liku, ada yang berpayah-payah. Tidak ada yang ujuk-ujuk tulisannya langsung jadi dan enak dibaca. Tak jarang ada penulis yang hampir putus asa sebelum akhirnya menyadari bahwa tulisannya layak dibaca khalayak.
Saya termasuk penulis yang amat berhati-hati, bahkan sekadar menulis di dinding fesbuk atau berkicau di twitter. Amel Widya, pepuja hati saya, tahu betul proses kelahiran sebuah tulisan yang saya anggit. Pelik. Tidak mudah. Tidak seperti menyulap saputangan menjadi burung atau menyeduh mi instan.
Tulisan La Beneamata dan Semangat Pantang Menyerah, misalnya. Tulisan itu lahir setelah saya lima kali menonton laga akhir Seri A antara Lazio dan Inter Milan di YouTube. Setelah menonton laga yang berakhir 2-3 bagi kemenangan La Beneamata itu, saya masih harus mengayakan bahan dengan membaca buku Nietzsche, Kierkegaard, dan Shindunata. Setelahnya, saya konsep dalam bentuk tulisan tangan.
Tulisan tersebut lantas ditemukan oleh istri saya terpajang di dinding fesbuk orang lain. Tak ada kata yang berkurang, tidak ada juga yang bertambah. Kecuali nama saya yang dibuang. Ndilalah, ternyata tidak hanya satu tulisan yang diaku. Tulisan saya Tentang 'Di'Â juga nongkrong di dinding fesbuk doi. Namanya Iin Sugiarti AT. Sewaktu akan diklarifikasi, akun Kata Hati, fan page saya, dan akun Amel sudah diblokir oleh doi. Dicek oleh akun teman-teman ternyata doi tutup akun. Aduh!
Apa susahnya mencantumkan nama penulis?
Celakanya, pada cerpen tersebut tidak terpajang nama saya. Penulis lain yang tertera namanya selaku pengarang. Paragraf pembuka ditambah. Latar tempat diganti: dari Bogor menjadi Lampung. Nama tokoh malah tidak berubah. Kampret. Cerpen saya tidak dimuat, begitu dimuat malah atas nama orang lain. Kontan saya ngadat. Sekarang saya merasa geli kalau mengingatnya.
Pada 2015, seorang penggemar penulis lain--yang kebetulan mengikuti akun twitter saya--bertanya tentang puisi Suatu Malam Ketika Aku Merindumu. Tak disangka, ada yang menuduh saya menjiplak karya penulis idolanya. Ajaib. Saya dituduh meniru puisi yang saya karang hampir 10 tahun. Geli euy!
Menghargai karya orang lain sebenarnya adalah laku menghargai diri sendiri. Sebaliknya juga begitu.
Apakah saya kesal kepada Iin Sugiarti AT? Seperti ujar saya di fesbuk kepada Boy Candra, saya tidak kesal. Ya, saya memang tidak kesal. Tetapi sangat kesal. []