Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Bermula dari Masjid

20 Mei 2018   23:11 Diperbarui: 26 Mei 2019   14:27 693
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baru saja orang-orang meninggalkan masjid. Hujan yang sejak awal Tarawih mengguyur perumahan sudah reda. Air menggenang di aspal yang tak rata. Aku berjalan pelan menikmati elusan angin. Masa Kecil bersenandung di sisi kiri. Ia senang sekali bersenandung persis seperti almarhum Ibu.

Kami tiba di beranda rumah yang bohlamnya sejak kemarin minta diganti. Gelap dan dingin. Aku suka malam di bulan Ramadan yang gelap dan dingin. Masa Kecil juga suka. Kubayangkan kampung halaman yang gelap setelah Tarawih dengan kepala rebah di paha Ibu.

Kala itu Masa Kecil masih kelas tiga SD, tetapi sudah harus berdiri di depan jamaah sebagai protokol. Tentu saja lututku gemetar, bahkan sendi-sendiku berasa ngilu. Masjid di kampungku memang begitu. Anak-anak dan remaja tidak sekadar dilatih berpuasa, tetapi sekaligus dilatih berdiri di depan khalayak. Ada yang tilawah, ada yang menata acara, dan ada yang berceramah.

Yang paling muda menjadi penata acara, yang sedikit lebih tua mengaji, dan yang sudah di sekolah menengah jadi penceramah. Aku yang paling muda. Tugasku ringan sebetulnya. Cuma membaca susunan acara, mempersilakan pengisi acara ke mimbar, mengumumkan jumlah sumbangan, menyebutkan siapa yang besok menyiapkan makanan buka puasa, dan mengumumkan siapa yang bertugas untuk Tarawih besok.

Tetapi ternyata tidak seringan yang kubayangkan. Aku sudah gugup sebelum mengucapkan salam. Kandung kemih terasa penuh. Degup jantung tidak beraturan. Keringat merayap di pori-pori ketiak, kening, dan dada. Dan, yang paling menjengkelkan, jemariku bergeletar sehingga tulisan di kertas ikut bergerak-gerak.

Masa Kecil tertawa sambil menjelepak di lantai. "Memalukan!"

"Apa yang memalukan?" desakku.

"Pengalaman pertama berdiri di masjid selaku protokol."

Mataku memejam. Kenangan seperti film pendek yang ditayangkan ingatanku dengan lambat. Kulihat diriku yang mungil, pendek, dan ceking mengecil di hadapan orang-orang dewasa. Tidak seorang pun tertawa, namun mata mereka seakan-akan meledekku. Jarum jam serasa bergerak sangat lambat. Rasanya malam itu adalah malam terpanjang dalam hidupku.

"Tarawih tidak khusyuk," kata Masa Kecil seraya mengerling kepadaku.

Aku tertawa. Setelah dewasa, kadang aku suka menertawai peristiwa saat anak-anak yang menggelikan dan mencemaskan. Malam itu salatku memang tidak khusyuk. Rasanya ingin cepat-cepat tiba di rumah dan melabuhkan rasa malu di pangkuan Ibu. Pada malam itu aku keliru menyebut Nabi Muhammad subhananu wa ta'ala dan menukarnya dengan Allah sallallahu 'alaihi wasallam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun