Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Jihad Bunuh Diri dan Stamina Berpuasa

18 Mei 2018   03:46 Diperbarui: 26 Mei 2019   14:21 792
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

/1/

Republik Rimba baru saja diguncang petaka. Provinsi Harimau diserang teroris, Provinsi Serigala diguncang bom bunuh diri. Presiden Singarif bertindak tegas. Tidak butuh waktu lama, Operasi Senyap berhasil menumpas perlawanan teroris. 

Kini Republik Rimba kembali aman dan sentosa. Tiada lagi huru-hara, tiada pula prahara. Teror padam, bom teredam. Keributan jarang, kerusuhan langka. 

Semua bermuara pada ketegasan dan kebijaksanaan Presiden Singarif. Di balik misainya yang berengos terkulum senyum yang menenteramkan. Kadang Presiden Singarif mengadakan lawatan dadakan ke daerah-daerah. Beliau tidak suka menunggu laporan pejabat negara di istana. Beliau sambangi sendiri rumah warga dan mendengarkan keluhan atau saran mereka. 

Malah santer terdengar beliau pernah memanggul sendiri  bahan makanan di tengah malam buta ke rumah warga yang kelaparan. Tak ayal rakyat sangat mencintainya. Hingga mendekati akhir masa jabatan pertama, tak terdengar gonjang-ganjing ganti kepala negara.

Pada satu pagi yang cerah beliau melawat ke Provinsi Bangau. Penduduk provinsi itu rata-rata pencari ikan. Setiba di Pantai Damai ia singgah di sebuah kedai. Beliau pencinta kopi. Segelas kopi pasti menyenangkan hati. 

Kedai sepi. Hanya ada seorang warga yang sedang duduk tenang menghadapi sepiring pisang goreng dan secangkir kopi susu. Bangau Sepuh. Begitu penduduk lain biasa menyapa warga itu. Ia tetap duduk tenang seraya memejamkan mata, tidak seperti pramusaji dan pemilik kedai yang tergopoh-gopoh menyambut Presiden Singarif.

Kepala Negara yang bijak itu tidak merasa tersinggung. Beliau menarik kursi dan duduk di depan Bangau Sepuh. "Kamu tidak mengenali siapa yang sedang duduk di depanmu?"

Bangau Sepuh menjura sejenak dan menjawab, "Saya kenal Paduka."

"Mengapa kamu tidak menghormat seperti pramusaji dan pemilik kedai?"

"Karena saya tahu bahwa Paduka tidak gila hormat!"

Presiden Singarif masam-mesem. "Hanya itu?"

"Paduka seorang kepala negara," timpal Bangau Sepuh, "bukan hamba sahaya. Jika Paduka kecewa atau kesal atau marah karena saya sekadar menjura, berarti Paduka masih menghamba pada kehormatan dan kebesaran. Padahal semua itu bersifat duniawi. Fana. Sementara."

Presiden manggut-manggut. "Teruskan!"

"Setahu saya, Paduka bukan pejabat yang butuh disembah-sembah. Paduka lebih suka warga yang rajin bekerja daripada rajin menjura."

Presiden Singarif terkekeh-kekeh. "Kamu tidak bekerja?"

"Saya bekerja, Paduka!"

"Nelayan?"

Bangau Sepuh mengangguk.

"Tidak mencari ikan?"

"Sudah."

"Kenapa tidak mencari lebih banyak?"

Bangau Sepuh mengernyit. "Buat apa?"

"Supaya penghasilanmu bertambah dan kamu jadi kaya."

"Mengapa harus kaya?"

"Agar kamu bisa menikmati hidup."

Bangau Sepuh tertawa pelan. "Saya sedang menikmati hidup, Paduka. Saya berasa sedang di surga. Warga lain susah payah memburu surga dan baru masuk sesudah mati, saya merasakan surga semasih hidup."

Presiden Singarif terkesima. Bibirnya membulat seperti huruf o kecil, seakan-akan ingin mengatakan sesuatu, tetapi kemudian mengatup lagi.

Bangau Sepuh mengembuskan napas. "Saya juga mengharapkan surga, Paduka. Tetapi saya tidak akan menuju ke sana dengan cara seperti yang pernah terjadi di Provinsi Serigala. Rasanya dungu memburu surga tetapi bunuh diri, apalagi sampai merenggut nyawa sesama."

Presiden Singarif menatap mata Bangau Sepuh lekat-lekat. "Kamu bersedia menjadi Anggota Dewan Penasihat Presiden?"

Bangau Sepuh menggeleng-geleng. "Saya hanya mahir memancing ikan, Paduka, tidak biasa menasihati. Apalagi menasihati Presiden." Ia berhenti sejenak dan tersenyum. "Ajaib sekali andai Bangau menjadi penasihat Singa."

/2/

Ramadan masih fase awal. Perjalanan ibadah masih panjang. Layaknya petualang yang hendak menempuh kelana yang lama, bekal kita harus cukup. Bukan bekal makanan saja, melainkan sekaligus bekal stamina. Jangan sampai panas-panas tempe goreng. Sejam lepas dari wajan sudah melembek, tertiup silir angin saja sudah melunak.

Stamina itu tidak hanya dari sisi lahiriah, tetapi juga stamina batiniah. Berkoar puasa, tetapi tak henti-henti meledek mantan petinggi negara yang tengah sensitif. Mengaku puasa, tetapi terus-menerus mengutuk keluarga pelaku bom bunuh diri. Katanya puasa, tetapi mengumbar caci-maki. Lidah terjaga, jari lepas dari pengawasan. Lapar dan haus tertahan, marah dan benci menjadi-jadi.

Kalau benar-benar berpuasa, sungguh celaka jika yang kita terima haus dan lapar belaka. Kalau memang berpuasa, stamina batin harus dirawat dan dijaga. Kalau sewot atau marah, ambil wudu. Masih kesal, toyor kepala. Masih marah, guyur sekujur tubuh. Biar basah, biar dingin. 

Dalam jihad besar melawan hawa nafsu, stamina batin kita harus tangguh. Kalau di Twitter seseorang menantang twitwar, katakan saja sedang berpuasa. Di tempat kerja ada yang mengajak debat, tidak usah buru-buru menarik urat leher. Pengendara motor ugal-ugalan, tidak perlu berkaok-kaok seperti gagak kelaparan.

Terkadang kita lebih peduli menjaga stamina lahiriah sehingga mengabaikan stamina batiniah. Padahal stamina raga mudah dijaga. Asal menyantap makanan yang tepat, mengunyah buah yang lezat, dan tidur nyenyak dan nikmat, stamina raga pasti terjaga. 

Bagaimana dengan menjaga stamina jiwa?

/3/

Pada dasarnya kita sadar bahwa fondasi puasa adalah kewajiban. Namun, kita harus meloncat lebih tinggi. Kita harus bertumpu pada kesadaran cinta. Dari kesadaran cinta akan lahir kesabaran jihad. 

Ramadan adalah bulan jihad. Tidak harus repot merakit bom. Tidak mesti sakit karena menghilangkan nyawa sendiri. Tidak akan membunuh nyawa sesama. Cukup ibadah puasa, salat, berzakat, dan setelah lebaran kita kembali sesuci bayi. 

Coba kalau jihad dengan cara bom bunuh diri. Membayangkan rasa sakit saat sekarat saja sudah ngilu, apalagi membayangkan korban tidak berdosa. Boro-boro lolos tanpa tes masuk surga, di dunia saja jasad sudah sengsara. Jenazah tidak diakui keluarga, tidak diterima oleh warga untuk ditanam di tanah. Yang mengurus mayat susah dijumpa, makam pun entah mesti ke mana.

Akibat lain, agama ikut diserempet cemooh. Padahal agama tak menyuruh kita menyakiti apalagi sampai membunuh orang lain. 

Belum lagi dampak bagi orang lain yang jadi korban. Bagaimana dengan nasib keluarga yang ditinggalkan? Mungkin sebagian sanggup mengikhlaskan, mungkin pula ada yang memeram dendam. Bibit kebencian akan bertunas, bertumbuh, dan bertambah. Lama-lama bumi indah kita menjadi padang petaka tempat bunga kebencian tumbuh subur di mana-mana.

Daripada jihad bunuh diri lebih baik jihad melawan nafsu sendiri selama Ramadan. 

/4/

Apabila kesadaran cinta dan kesabaran jihad beribadah selama Ramadan sudah subur di kalbu, kita bisa setenang Bangau Sepuh menikmati hidup. 

Coba lihat sekitarmu. Banyak di antara kita yang berangkat kerja sejak pukul lima subuh dan tiba di rumah pukul tujuh malam. Begitu selalu dari Senin hingga Jumat. Kadang Sabtu masih lembur, Minggu harus masuk pula. Anehnya, tiada yang tampak selain mata kuyu dan wajah lelah. Ada pula yang suasana hatinya kibang-kibut. Berantakan. Yang masih pendekatan tiap hari marahan. Yang sudah berkeluarga sedikit-sedikit cekcok.

Puasa mestinya kita jalani sepenuh cinta. Cuaca panas tidak mengeluh, peluh berlelehan tidak mengesah. Ikhlas saja. Kita puasa bukan karena tergoda iming-iming surga. Mencintai Tuhan kok minta imbalan. Kita puasa bukan karena terbujuk hitung-hitungan pahala. Mencintai Tuhan kok minta pahala.

Lihatlah bagaimana Bangau Sepuh ditawari menjadi Anggota Dewan Penasihat Presiden. Bahkan ditawari langsung oleh Presiden Singarif, tetapi ia menolak. Bangau Sepuh semata-mata memberi nasihat. Tidak lebih, tidak kurang. Tidak seperti relawan pendukung yang sontak menunggu jabatan setelah Presiden Singarif dilantik. Relawan kok menanti imbal jasa.

Saya juga akan sama. Kalau ada yang menawari saya surga, atas nama jihad membela agama, akan saya kembalikan kepadanya. Dengan pelan saya berkata, "Kenapa Tuan tidak segera mengejar surga? Mengapa peluang masuk surga itu Tuan tawarkan kepada saya? Kenapa Tuan tidak meniru sifat Tuhan yang mahakasih dan mahasayang?"

Untung tidak ada yang datang menawari saya masuk surga dengan cara bunuh diri. Kalaupun ada yang datang, sekalian saya ajak buka puasa di Istana Presiden Singarif. Atau bukber di kedai kopi langganan Bangau Sepuh. Biar stamina berpuasa tetap terjaga.

Kandangrindu, 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun