Ia terpana. Suara itu begitu terang di telinganya.
Ketika berbalik, tukang sapu tersenyum kepadanya. “Burung apa lagi yang hendak kamu jadikan korban untuk membuktikan kekuatanmu?”
Ia tersentak. Tenggorokannya kering. Tidak seorang pun melihat aksinya menjatuhkan merpati, tetapi orang ini tahu.
“Kalau hari ini kamu pulang, pasti akan ada tugas baru dari gurumu!”
Akhirnya ia tidak bisa menahan diri. “Dari mana Anda tahu? Bagaimana Anda bisa memasuki pikiran saya?”
“Sebagian orang diberkati dapat membaca pikiran orang lain, seperti yang sedang saya lakukan, tetapi mereka tidak melakukannya untukmu karena ada hal lain yang harus mereka lakukan.”
Sang Darwis terperenyak.
“Kamu memandang hina pekerjaanku karena kotor dan bau. Padahal memang beginilah pekerjaanku. Saya tidak memikirkan kesucian ragawi, sebab kesucian jiwa lebih utama. Saya tidak memikirkan tubuh saya akan kotor, sebab saya memikirkan kewajiban!”
Darwis menyimak takzim.
“Saya berkonsentrasi pada kewajiban,” ujar tukang sapu, “kotor dan bau dan menjijikkan bukan rintangan bagi saya dalam memenuhi kewajibanku.”
Darwis menangis tersedu-sedu. “Maafkan aku!”