Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Riwayat Kebencian

15 Mei 2018   09:43 Diperbarui: 26 Mei 2019   14:18 2142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (pixabay.com)

/1/ 

Pangkalnya adalah pikiran. Pada pikiran yang segoyah kain bendera menahan elusan angin, seseorang gampang masuk meniupkan kebencian. Rasa kebencian itu memasuki hati seperti orang masuk ke rumah tak berpagar tak berpintu. Kebencian itu bermain-main di hati dengan tujuan memicu dan memacu kemarahan.

Pikiran yang segoyah kain bendera itu lantas menjelma setangguh karang sekeras batu. Kebencian mengiris rasa cinta dan mengikis rasa kemanusiaan. Seseorang yang masuk ke pikiran itu lalu menanam benih keberanian: berani memperjuangkan keyakinan dan berani menjemput kematian demi yang diyakini. Bila sudah tiba pada fase ini akan mustahil bagi cinta kasih untuk memadamkan api kebencian itu.

Kalau disigi lebih dalam, kebencian itu pada mulanya lintasan pikiran akibat merasa tidak berdaya, tidak berguna, hidup sia-sia, dan susah lepas dari dekapan putus asa. Akumulasi kelebat pikiran itu kemudian mengawali harapan melakukan sesuatu agar merasa diri ada. Tak ayal, seseorang yang masuk ke dalam benak yang dangkal dan lesak ke fondasi sanubari yang rapuh jadi kian mudah memantik letik kebiadaban.

Maka muncullah ilusi-ilusi dalam pikiran berupa rela mati demi yang-diyakini, surga yang akan menjauhkan diri dari belitan nestapa, bahkan ada yang membayangkan bidadari dalam jumlah tertentu. Ilusi-ilusi itu menyesatkan cinta di hatinya. Sampai-sampai tak tersisa rasa kemanusiaan barang secuil. Kadang menyeret-nyeret orang terdekat atau tercinta. 

Demikianlah nasib pikiran yang segoyah kain bendera.

/2/

Kita lantas berlomba-lomba merutuk dan mengutuk orang yang pikirannya segoyah kain bendera itu, mencaci dan memaki kebiadabannya, bahkan sebagian kita menimpakan rutukan, kutukan, cacian, dan makian itu justru pada mereka yang tidak terkait dengan pemilik pikiran segoyah kain bendera tersebut.

Tidak aneh. Ketika melihat orang berjanggut dan bercambang, sebagian kita langsung mengecap orang itu juga berpikiran segoyah kain bendera. Tatkala bersisian dengan perempuan bercadar atau berkerudung panjang, sebagian dari kita lantas membayangkan perempuan itu bagian dari orang yang berpikiran segoyah kain bendera.

Persis seperti melihat orang di penjara langsung kita kait-pautkan dengan orang bersalah. Persis seperti melihat orang bermata sipit langsung kita sangka kafir. Persis seperti melihat orang berbeda agama langsung kita cap ahli neraka. Persis seperti melihat polisi langsung disangka mudah menerima uang damai.

Malahan ada yang menuding temannya membela teroris lantaran tidak bikin status di media sosial soal kutuk-mengutuk. Ada pula yang menjadikan peristiwa teror sebagai peluru untuk menyerang orang yang tidak sehaluan politik. Nah, mereka pasti lupa bahwa tudingan juga boleh jadi adalah teror.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun