Tersebutlah seorang Pangeran Belia masuk ke sebuah bar. Tentu ia tidak sendirian karena umurnya baru menjelang 12 tahun. Orangtua dan Sepasang Kesatria menemaninya. Pangeran Belia itu diramalkan punya garis takdir tak terperi. Bakatnya alami dan langka.
Seorang Pejabat dari Benua Biru sudah menanti di dalam bar. Si Pejabat, Sekretaris Teknis, langsung memastikan biaya pengobatan bagi si Pangeran. Berapa pun besarnya. Asalkan si Pangeran dan keluarga bersedia diboyong ke Spanyol.
Syahdan, Kesatria Horacio dan Minguella semringah. Tawaran diterima. Sayang tidak ada kertas untuk penandatanganan kesepakatan secara formal. Mesti ada hitam di atas putih. Untung si Pejabat panjang akal. Diambilnya selembar tisu, serbet dalam bentuk kertas, dan menuliskan kontrak buat si Pangeran Belia. Si Pejabat, Carles Rexach, tertawa bahagia.
Andaikan saat itu tak ada serbet dalam bentuk kertas tisu, barangkali kita tidak akan menikmati liukan indah dan gocekan maut si Pangeran Belia dalam balutan seragam Blaugrana. Orang-oramg sekarang mengenalnya sebagai King Messi.
Serbet itu semula disimpan oleh Kesatria Minguella di sebuah bank di Barcelona. Hanya keluarga si Pangeran (yang sekarang sudah dewasa) atau pihak yang diizinkan manajemen FC Barcelona yang boleh melihatnya.
Sekarang tidak lagi. Arkian, khalayak sudah bisa melihat serbet bersejarah itu di Museum Kota Barcelona. Keindahan tarian Messi bermula dari serbet.Â
Maka, jangan sepelekan serbet.
***
Tersebutlah seorang Penyair Muda, mahasiswa sebuah perguruan tinggi di Banten, melihat keriuhan perayaan Hari Pendidikan Nasional. Ada pula Lomba Baca Puisi. Atas nama cinta, ia turut serta meramaikan keriuhan. Maklum, puisi punya tempat khusus di hatinya
Alangkah riang perasaannya sewaktu namanya ditabalkan sebagai Juara II. Semula cuma ikut ramai-ramai, malah menang. Semula tanda cinta, malah pulang mengepit tanda mata. Itu barangkali yang disebut ramai dicinta hadiah pun tiba.
Namun ada yang menggelitik. Ternyata hadiah dari Panitia, yang bertungkus lumus di dunia pendidikan dan kebudayaan, Â hanya dua lembar serbet. Entah buat menyeka leleh air mata, entah buat membendung kucur keringat.Â
Mungkin Panitia mengira serbet layak dijadikan hadiah. Mengingat yang ikut lomba pasti berkeringat, mengingat lomba digelar buat main-main belaka. Masuk akal, puisi dan sastra, bagi mereka, mungkin permainan remeh belaka. Semacam mempermainkan kebudayaan dan membudayakan main-main. Ini boleh jadi erat kaitannya dengan masa kecil yang tidak bahagia.
Tetapi, serbet hadiah itu punya takdir sendiri. Gara-gara serbet, Panitia disindir agar lebih elegan memainkan puisi. Bukan mempermainkan puisi. Dan, serbet itu pula jadi alat bersih-bersih otak Panitia: yang selama ini melihat sebelah mata segala-gala yang terkait dengan seni dan kesenian, sastra dan kesastraan, serta budaya dan kebudayaan.Â
Maklum, Pemerintah juga kurang lebih sama perlakuannya pada seni, sastra, dan budaya.
***
Pada akhirnya serbet mengukir sejarahnya sendiri. Ia menegaskan perihal bagaimana semestinya memanfaatkan peluang, seperti cara Rexach melihat serbet. Ia juga mengeraskan hakikat perayaan Hari Pendidikan Nasional dan puisi bukan sekadar hura-hura alias senang-senang saja.
Sungguh berbeda. Rexach melihat serbet seperti penyelamat, Panitia Lomba Baca Puisi melihatnya sebagai main-main semata.
Tunggu sebentar. Saya berkeringat. Apakah kamu punya serbet?
2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H