Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Remba dan "Bangsat" di Mulut Seorang Lelaki

31 Maret 2018   10:00 Diperbarui: 26 Mei 2019   14:07 3472
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: pennbiotechgroup.com

Remba menceratuk di beranda. Ia menunduk dalam-dalam. Jemari kakinya bergantian mengetuk-ngetuk lantai. Nada dan temponya tak beraturan. Matahari yang sesekali digoyang-goyangkan ikan-ikan koi di permukaan kolam tak mengusik lamunannya. 

Sejak dua hari lalu ia lebih banyak termenung. Gara-garanya, ayah dan ibunya gagal pelesiran spiritual ke Tanah Suci. Gaji ke-13 sudah ia korbankan, kalung istrinya kini nangkring di pegadaian, bahkan sebagian besar isi tabungannya ia kuras demi uang saku orang tuanya. Tetapi mimpi untuk membahagiakan hati ayah dan ibunya terpaksa buyar. Bukan terpaksa, melainkan dipaksa. Biro perjalanan mangkir. Mula-mula visa jadi dalih, lalu muncul alasan lain yang kilah dibuat-buat belaka.

Ia sudah pernah mengamuk-amuk di kantor biro tempat ia mendaftarkan ayah dan ibunya. Buku-buku jemarinya masih hitam bekas meninju meja. Hasilnya nihil. Tidak ada kejelasan, tidak ada kepastian. Hatinya masygul setiap ia mendengar nasihat ayahnya: sabarlah, sabarlah, sabar itu buah iman yang lezat. Bertambah-tambah kemasygulannya acapkali ibunya menggumam: tiada guna ziarah ke Mekah jikalau hasil dari seruntun opera marah.

Kemarin ia meringis di depan televisi. Adalah seorang anggota dewan musababnya. Ya, anggota dewan itu keceplosan melontarkan makian. Baginya, tak ada yang salah dari kata makian itu. Ada 127.063 lema dalam KBBI edisi kelima, termasuk kata bangsat. Kata itu bertengger di antara bangku, bangkai, batu, bejat, berengsek,dan kata-kata berawalan huruf "b" lainnya. Kata itu punya hak yang sama untuk digunakan, baik secara lisan maupun tulisan, seperti berhaknya kata anugerah, hormat, atau selamat dipakai dalam berbahasa.

Sore ini ia jauhkan matanya dari godaan layar ponsel. Hatinya kecut. Ia letih membaca orang-orang menasihati orang-yang-memaki dengan cara memaki. Seperti cubitan dibalas dengan cubitan. Banyak yang memaki anggota dewan itu karena menggunakan kata bangsat di forum resmi, banyak pula yang menyalahkan wakil rakyat itu karena mengumpat, malahan ada yang menghujat partai tempat legislator muda itu bernaung. 

Namun, bisa dihitung jari yang menyelam ke dalam esensi kritik: mengapa makian itu terlontar, apa musabab kegusaran wakil rakyat itu sehingga ia sebegitu kesal, atau kenapa anggota dewan itu tidak dapat menahan diri. Tidak ada pula yang meluangkan sedikit waktu untuk berpikir bahwa boleh jadi ada satu atau lebih di antara pemilih anggota dewan itu yang menjadi korban agen perjalanan ibadah yang nakal.

Belakangan ini membaca berita di media daring sering menguras energi Remba. Belum lagi membaca komentar para penikmat berita daring yang tidak tanggung-tanggung pedasnya. Ia sendiri tidak suka pada cara wakil rakyat itu dalam mengungkapkan kekesalan. Tidak selamanya kemarahan ditampilkan dengan menegangkan urat leher, sesekali nada suara dingin dan rendah bisa jadi pilihan. Desis ular sama mengerikannya dengan debik beruang atau aum harimau--walaupun ia belum pernah mendengar sendiri dua bagian terakhir itu. Meski begitu, ia tidak akan mencerca wakil rakyat itu dengan cecar makian yang sama.

Andaipun ia bertemu wakil rakyat itu, kata-kata seperti bangsat, berengsek, dan yang serumpun dengan itu tidak akan ia hambur-hamburkan. Kata-kata itu lebih sering ia pakai saat bercengkerama dengan teman-teman akrabnya. Itu pun bukan dimaksudkan untuk mencaci sepenuh-penuh benci, melainkan pertunjukan kehangatan dan keakraban. 

Ia tahu betul bahwa hidup yang sesungguhnya adalah mencintai. Alias, das leben ist liebe. Begitu petuah Fichte, filsuf asal Jerman. Maka yang akan ia lakukan seandainya ia diajak ngopi-ngopi oleh wakil rakyat itu adalah berterima kasih karena telah mewakili kegusaran para korban biro perjalanan ibadah yang bandel, sekaligus meminta agar wakil rakyat "yang terhormat" itu belajar lebih giat ihwal menghormati sebelum dihormati.

Tetapi, itu hanya bagian dari gerunyamnya sore ini. Kamu tidak perlu gusar andai kata kamu termasuk pencela wakil rakyat itu; tidak perlu kesal kepada para pekamus yang mencantumkan kata bangsat dan sebangsanya ke dalam kamus, sebab tugas mereka memang demikian; dan tidak usah marah kepada Remba karena ia melihat dengan matanya dan merasakan dengan hatinya sendiri. 

Ia hanya menuruti nasihat ayahnya. Tak lebih, tak kurang. Ia sedang belajar menebar energi-energi positif dan menahan diri dari menyebar emosi-emosi negatif.

Akhirnya Remba mendongak, lalu berdiri. Matahari sudah lenyap di permukaan kolam. Ikan-ikan koi sedang khusyuk mendengarkan azan. [kp]

Kandangrindu, Maret 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun