Baiklah, kita kembali dulu pada peristiwa di sekitar kita. Jika mata batin kita sudah awas dan teliti, bahan baku tulisan—baca: ide—tersedia di mana-mana. Suasana persidangan “kopi sianida”, misalnya, dapat kita racik menjadi santapan mata batin. Keputusan Ahok memilih jalur parpol, misalnya, dapat kita kemas menjadi makanan batin. Perilaku “tiba-tiba alim” para pemangsa harta negara, misalnya, bisa kita ramu menjadi sajian pengaya batin. Hukuman mati, misalnya, bisa kita olah sebagai suguhan bagi renungan batin.
Empat amsal di atas adalah contoh belaka. Dengan kejelian indrawi, banyak peristiwa yang bisa kita abadikan. Apabila kita mampu menuliskannya berarti kita sanggup menjalani ibadah intelektual. Sejalan dengan nasihat Naguib Mahfouz—pengarang yang mahir menyisipkan mutiara indah ke dalam untaian kata-katanya—bekerja bagi keadilan dan kebenaran. Kebenaran dan keadilan akan tetap ada, tutur Mahfouz, selama umat manusia terus merenung dan menghidupkan suasana hati mereka. Nah, ini bagian ibadah intelektual yang sedikit atau malah sangat berat. Hingga saat ini saya sendiri merasa belum mampu mencapainya. Sekali lagi, belum mampu, bukan tidak mampu. Siapa tahu ada di antara kalian yang—dengan kegigihan, ketabahan, dan keteguhan hati—berhasil menapakkan jejak pena pada titik estetik itu.
Apakah empat musabab menulis di atas sudah cukup memantik hasrat menulis kalian? Apakah empat alasan menulis di atas sudah memadai sebagai modal niat kalian? Semoga begitulah adanya. Kalaupun belum, kalian pasti akan menemukan sendiri alasan mengapa saya menulis. Yang penting kita pahami adalah niat saja belum cukup. Kita harus beribadah, segiat-giatnya, agar niat itu tidak sia-sia.
Jadi, jangan menunda waktu. Mari kita mulai beribadah! [kp]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H