Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Catut-Mencatut Karya ala Redaktur Media Luring

31 Juli 2016   17:27 Diperbarui: 31 Juli 2016   22:04 610
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketiga, tiap puisi yang saya anggit pasti melewati proses penciptaan dan dilahirkan dengan susah payah. Maka, tentulah sedih rasanya bila karya saya dicomot begitu saja lantas digunakan sekehendak hati. Tak peduli nama saya tercantum di koran tersebut sebagai pengarang. Itu perkara lain. Jangan karena saya pajang di media daring, dalam hal ini Kompasiana, lantas dikira ketiga puisi tersebut jadi milik khalayak. Sederhananya begini. Jika anak kita ke luar rumah bukan berarti anak kita akan jadi “anak orang banyak” atau “berhak diaku orang banyak sebagai anak sendiri”. Bahkan bila anak kita itu menarik hati dan memikat batin orang lain, orang lain harus tetap meminta izin kalau berharap anak kita menyambangi rumahnya.

Keempat, saya bisa dituding penulis lain—atau siapa saja yang gemar mengintimi dunia tulis-menulis—sebagai pengarang yang maruk lantaran tulisan saya dimuat di dua media berbeda: media daring (Kompasiana) dan media luring (Duta Masyarakat). Padahal saya tidak pernah mengirim ketiga puisi saya (Tersesat di Atlas Cemas, Kau Bersila dan Membisu di Gelas Kopi, dan Dia yang Memunggungimu) ke media selain mengunggahnya di akun Kompasiana saya.

Yang bikin benak saya makin gelisah, posisi penulis agak lemah bila berhadapan dengan perkara seperti ini. Siapa suruh kamu pajang di media daring, misalnya. Hal seperti itu lumrah saja, misalnya lagi. Itu sekadar dua contoh. Di sisi lain, penulis kerap dicecar dan dicerca ketika satu karya mereka dimuat di dua media, walaupun tersebab berminggu-minggu tak ada kabar dari media pertama sehingga dikirim lagi ke media lain. Ini masih perkara karya sendiri. Belum lagi kalau dituding atau ditengarai menjiplak atau salin-tera karya orang lain. Wuft, bisa riuh rimba pertulisan.

Bagaimana bila redaktur media yang melakukan aksi “asal comot” seperti kasus yang saya alami? Sekali lagi, ini tidak terkait dengan laku jiplak-menjiplak. Ini perkara catut-mencatut atau comot-mencomot. Dan, tentu saja, saya menulis kegundahan ini karena saya tidak ingin hal sama menimpa kalian atau siapa saja. Atau, kita kembali ke petuah Descartes di awal tulisan ini, agar kita punya cara untuk mengingat satu perkara. Sesederhana itu! [kp]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun