Di sebuah bangku tua yang sendirian digigiti sunyi di tengah taman kota—di sekelilingku kesendirian di dadaku kehampaan—aku bertanya-tanya apa gerangan yang hendak dimuntahkan nasib sebagai garis takdir bagi sisa hidup singkatku.
Bangku tua dan taman kota, juga senja yang baru saja dihadirkan sunyi, tak punya jawaban apa-apa. Hanya helai-helai daun yang dipermainkan angin dan terhempas ke tanah basah, sisa hujan tadi siang, tanpa keluh dan gerutu duka. Tetapi, penentu nasib dan takdir pasti tahu bahwa aku bukan helai-helai daun yang tak bisa apa-apa selain pasrah jatuh ke tanah.
Sunyi dan senja kini tak hanya menggigiti bangku tua. Sekarang mereka mulai melumat taman kota dan merapuhkan jantungku. Di kepalaku, kamu laksana anggota laskar perang yang memilih berdiri sebagai musuh, berhari-hari menanam ranjau benci di sanubariku, hingga aku lupa diri menginjak dan meledakkan ranjau itu.
Tidak, tidak. Aku tidak ingin kamu terus-terusan memusuhiku. Yang berlalu tak layak membuat mataku dan matamu basah. Tidak, tidak. Aku benci menjadi laskar musuh yang ditakdirkan mati di mata bencimu. Tidak, tidak. Aku muak diamsalkan sebagai bangku tua, bahkan taman kota atau senja pengantar sunyi.
Aku ingin jadi kamu. Seperti ombak di dalam ombak, pecah bersama di satu pantai. Jika aku harus mati, akan kupaksa penentu takdir agar menggariskan kamu mati denganku—digigiti sunyi dan benci—dan lapuk bersama bangku tua di tengah taman kota. Â
2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H