Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menulis Itu Melukis Perasaan

10 Juli 2016   15:27 Diperbarui: 11 Juli 2016   03:50 1207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di dunia ini, ada tiga hal yang bisa membuat saya jatuh hati.

Pertama, penyanyi yang bisa membuai sanubari saya—lewat suara yang merdu, ekspresi yang membelai hati, dan penghayatan yang menyentuh kalbu. Kedua, sutradara yang berhasil meramu filmnya dengan amat piawai—lewat akting pelakon yang membetot perhatian, alun cerita yang menyentil perasaan, dan suguhan gambar yang memancing tualang imaji. Ketiga, pelukis yang sanggup mengacak-acak khayalan saya—lewat tarikan garis dan tarian warna yang penuh pukau, suguhan perspektif yang memanjakan dan memanjangkan angan, juga paduan bayangan dan cahaya yang sarat makna.

Namun cuma satu hal yang mampu membuat hati saya jatuh berkali-kali, yakni orang yang sanggup mengaduk-aduk perasaan saya, mampu membuat saya terisak-isak dan tertawa-tawa secara bersamaan, serta bisa menemani saya menikmati pengharapan sekaligus ketakutan pada saat yang sama.

Akan tetapi, saya tidak akan menuliskan tiga hal yang bisa membuat saya jatuh hati dan satu hal yang mampu membuat hati saya jatuh berkali-kali. Saya malah hendak bertutur tentang pertemuan dengan seseorang yang sanggup membuat saya menahan napas berkali-kali, terpancing meliarkan imajinasi, dan ingin segera pulang ke rumah agar lekas larut dalam keindahan panorama kata.

Dadang Lesmana namanya. Ia seorang pelukis. Betul-betul melukis. Sejak kecil ia aktif mengikuti kegiatan Pramuka. Barangkali itu sebabnya mengapa Kang Dadang—begitu saya menyapanya—begitu hemat, cermat, dan bersahaja. Hemat dalam bertutur kata, cermat dalam mengamati sesuatu, dan bersahaja dalam tindak laku.

Semalam kami bertemu. Mula-mula basa-basi, berbagi maaf mengingat Lebaran yang masih hangat, lalu lidah saya mulai gatal bertanya-tanya tentang dari mana asal-muasal kemahirannya menarikan garis dan warna. Berlatih selama 1000 jam. Begitu katanya. Saya tahu resep ini. Tahu banget. Seseorang yang berhasrat mahir melakukan sesuatu, syahdan harus melatih diri sekurang-kurangnya selama seribu jam. Itu baru latihan awal. Setelahnya harus terus-menerus bersungguh-sungguh melatih diri. Saya percaya hal itu, karena saya pernah melakukannya—seribu jam bertungkus-lumus menulis dan membaca.

Hanya saja, saya tidak percaya hanya itu resep yang dimiliki olehnya. Maka, sodokan penasaran mulai mengepung lelaki yang gemar mengembara itu. Entah karena merasa terus didesak atau lantaran iba hati melihat saya didera rasa ingin tahu, ia mulai menyingkap tirai pengalamannya.

Menggambar itu perkara mudah, yang penting bisa menarik garis dan menyepuh warna. Sederhana sekali. Saya suka jawabannya yang bersahaja. Ya, asal bisa menarik garis dan memainkan warna, siapa saja bisa menggambar atau melukis. Hanya saja, sebenarnya ia sedang tidak menyodorkan sesuatu yang sederhana. Tatkala ia berkata tentang yang penting, berarti ada sesuatu di balik yang penting itu. Boleh jadi sesuatu yang lebih penting atau malah yang sangat penting.

Menulis juga begitu. Yang penting seseorang bisa membaca, punya beberapa kosakata, mau berpayah-payah merangkai kata, maka orang itu dijamin bisa menulis. Namun, terkait melahirkan tulisan yang renyah dibaca dan sarat makna, seseorang butuh lebih dari sekadar tiga hal yang penting di atas. Penulis harus memiliki kecerdasan membaca gejala dan tanda, gudang intelektualnya dipenuhi kosakata berlimpah, memahami daya kata, juga peka pada makna yang akan disuratkan dan disiratkan ke dalam tulisan.

Kang Dadang lantas memperlihatkan hasil goresan-goresan pensilnya. Saya tertegun dan tanpa sadar bulu-bulu di lengan saya berdiri. Ada gambar kepala harimau yang tidak utuh, tapi sangat bernyawa. Ada lukisan perempuan yang cuma rambut dan sedikit tubuh bagian kiri, namun lukisan itu banyak bercerita. Ada gelas yang airnya memercik karena batu es dan peristiwa itu seolah-olah terjadi di depan mata.

Melukis itu menulis, karena itu lukisan harus sanggup bercerita. Saya kembali tertegun. Jika pernyataan ini dibalik, maka menulis berarti melukis. Dengan demikian, penulis harus bisa menggambarkan "isi kepala dan dadanya"—gagasan, pemikiran, dan pengharapan—dengan pas dan jitu, sesuatu yang jelas-jelas membutuhkan adanya kecerdasan emosional dan kecerdikan gramatikal.

Agar lukisan berhasil menyuguhkan banyak cerita, imbuh Kang Dadang, pelukis harus menyadari kehadiran bayangan dan cahaya. Selain itu, pelukis juga mesti piawai menemukan segala-gala yang disembunyikan oleh bayangan dan cahaya itu. Penulis juga begitu. Penulis—apa pun yang diguratkannya—harus memiliki kepekaan batin dalam mengamati satu perkara agar melahirkan keindahan estetis dan estetik, sekaligus kekayaan data dan kedalaman makna.

Sayang sekali, waktu berlalu begitu laju. Kami harus segera berpisah. Kang Dadang menemui gambar-gambarnya, saya menekuri kata-kata yang berkelindan di sanubari. Lelaki pemilik mata penuh rahasia itu meninggalkan jejak percakapan yang sungguh sangat membekas di dada.

Gara-gara pertemuan semalam itu, kini saya tiba di hadapan khalayak pembaca—hal keempat yang sanggup membuat saya jatuh hati. [kp]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun