Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Jenaka Lebaran dan Rencana Rumah Kita

9 Juli 2016   11:32 Diperbarui: 9 Juli 2016   19:16 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bukan tak ada niat main ke rumahmu, bukan. Laut, badai, dan gemuruh gelombang adalah sahabat para pelaut. Aku tak takut ke rumahmu. Hanya saja, aku lebih berharap kita, nanti, bermain di rumah kita.

Rumah kita, nanti, rumah panggung di kaki bukit. Tempat punggung kita menyandarkan letih dan mata kita menidurkan cemas. Tempat pelaut menanam riwayat perjalanan dan memeram perih badai.

Tak ada televisi di ruang tamu, apalagi di ruang keluarga dan kamar tidur kita. Sebab kita selalu punya cerita lebih menarik dibanding berita politik, kekerasan, atau korupsi.

Kamu punya kisah tentang laki-laki sederhana yang entah berada di mana atau mungkin belum lagi lahir. Aku punya cerita soal pulau-pulau tak bernama, teluk-teluk rahasia atau danau tempat yang ingin kuajak engkau kunjungi bersamaku.

Pekarangan kita biarkan ditumbuhi ilalang dan diberaki ternak-ternak, biar tanah menerima apa saja dengan tabah, seperti kita merawat dada letih kita sepenuh-penuh setia. Di kamar tidur ada dipan kayu dengan kelambu selalu terbuka. Kamar itu diruapi wangi tubuhmu yang tak mau kulupakan dan bau peluhku yang tak ingin engkau lupakan.

Di halaman belakang bertumbuhan pohon buah dan sayuran. Bila butuh kita petik, selebihnya biar jatah ulat dan serangga. Atau, sesekali diam-diam dipetik oleh tetangga.

Tiap senja kita duduk mencangkung di tepi kali: memancing bulan, menjaring senyap, lalu binatang malam mencangkuli kepala kita dengan musik alam. Orkestra sunyi. Musik semesta yang mengalun di sanubari kita.

Bila malam makin tua, kita bergandengan ke puncak bukit: menari sebisa kita, membaca puisi-puisi pedih, dan memakamkan ketakutan. Sebelum matahari tersenyum, kita duduk memeluk lutut di beranda: menangkap embun, menyahuti kokok ayam, bercakap-cakap tentang perpisahan yang segera tiba dan pertemuan yang bila. Rumah kita, rumah cinta. Rumah, yang semoga, tanpa air mata. 

Tetapi, aku tetap ingin ke rumahmu. Menemui orangtuamu, menikmati masakan Lebaran, dan perbincangan jenaka yang bikin haru dada. Sepulang dari rumahmu, aku tahu bahwa rumah kita sebatas rencana. Kita tidak ingin kalah apalagi mengalah, bukan?

Cinta kita, memang, selalu butuh tubuh paling tabah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun