Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Si Sepi dan Ajakan Berdamai dengan Diri Sendiri

4 Juli 2016   13:33 Diperbarui: 26 Mei 2019   13:48 695
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak orang mencoba menyembunyikan kesedihan dan kepedihannya dengan berdiam diri, lantas memendam dan menikmati sendiri kesedihan dan kepedihan itu. Mereka berusaha keras tidak mengutarakan kesedihan dan kepedihan itu kepada siapa pun, bahkan kepada orang terdekat yang paling akrab dengan mereka. 

Saya termasuk di antara mereka. Belakangan ini saya lebih suka sendirian menikmati kesedihan dan kepedihan. Kalaupun ada yang kupinta menemani, paling-paling Si Sepi. Namun jangan kira mereka, termasuk saya, terampil menyembunyikan kesedihan atau selalu mampu menyelamatkan diri dari kepedihan. Ya, mereka tetaplah para perasa di tengah amuk batin yang ditahan-tahan. Lidah mereka barangkali sanggup menyembunyikan kesedihan, tetapi mata mereka sering kali lebih mahir membunyikan kesedihan itu.

Seperti siang ini. Si Sepi sudah duduk di hadapan saya dengan musik sunyi yang hanya bisa didengar oleh telinga batin saya. Secara niskala, Si Sepi mengajak saya bercengkerama tentang kesedihan dan kepedihan yang ia sebut sebagai potongan perasaan. Ia tidak meminta penganan atau makanan ringan atau bergelas-gelas kopi. Mungkin ia sedang berpuasa. Mungkin ia sedang menghindari makanan dan kopi. Di hadapan saya, ia terus-terusan diam sembari memperdengarkan musik sunyi.

Tiba-tiba Si Sepi beralih rupa menjadi seseorang yang sangat kukenal, seseorang yang saya izinkan mengisi relung paling hampa di dasar sanubari saya. Kontan kesedihan menyeruak dan menyentak-nyentak batin saya. Jangan kenang pepuja hatimu dengan cara bersedih-sedih atau berpedih-pedih, tegur Si Sepi. Dan, aku segera ditarik kesadaran agar tak berlama-lama dibuai lara hati. Kemudian, Si Sepi bertutur tentang cara menghindari kesedihan dan kepedihan. Seketika mata saya cerah dan mendesak agar ia lekas-lekas menuturkan cara itu.

Menulislah, jawabnya ringkas. Dalam beberapa jenak saya tertegun. Lantas mengalirlah alasan mengapa Si Sepi menyuruhku menulis.

Mengobati diri sendiri. Manusia lahir bersama karunia sifat pelupa. Inilah satu salah satu alasan mengapa orang-orang menulis. Usaha melawan lupa. Saya, tidak. Pada saat-saat tertentu, saya malah ingin melupakan: harapan-harapan manis atas masa depan yang buyar seketika, serta rencana-rencana baik yang dirobohkan bisu waktu. Si Sepi melotot dan berkata dengan tegas. Menulis justru akan memudahkan usahamu melupakan yang pahit-pahit dan itu berarti mengobati diri sendiri. Ia memang begitu, suka meniru-niru filsuf atau sufi yang kata-kata lahirnya harus dicerna dengan mata batin dan hati bening. Kerja melupakan kadang jadi bumerang, menyerang balik dan, akhirnya, mengingatkan. Ingatanmu terbatas, ujar Si Sepi, itu sebabnya kamu harus menulis.

Berdamai dengan diri sendiri. Ingatan itu laksana panorama yang memampang hal-hal baik dan buruk secara bersamaan. Ketika kepedihan—entah karena saya merasa tengah diperlakukan buruk dari seseorang atau lembaga atau apa saja—tulisan akan menjadi panorama yang muram dan, bahkan, suram. Akan tetapi, jika saya bisa berdamai dengan diri sendiri, kepedihan itu dapat saja berwarna cerah dan indah. Acapkali bila sedang berduka, tulisan menghapus kedukaan itu karena saya menemukan cara pandang baru yang amat berbeda dengan yang sebelumnya saya rasakan.

Menjadi diri sendiri. Sepanjang hidup kita berada di tengah-tengah manusia lain. Kerap kita dituntut menjadi itu atau ini, harus begitu atau begini. Si Sepi menyebut itu sebagai norma. Itu absah karena kita berada di tengah masyarakat. Ada aturan, ada norma. Tidak heran bila apa yang kita lakukan kerap bersandar atau bertumpu pada “apa kata orang nanti”, sehingga pada saat bersamaan kita lupa pada “apa yang akan saya rasakan nanti”. Ini masih pada tataran hubungan kesejajaran dengan sesama manusia, belum menyangkut hubungan dengan Tuhan. Dengan menulis, tutur Si Sepi, kamu bisa menjadi dirimu sendiri. Utuh, benar-benar utuh. Utuh yang menyeluruh. Seluruh gagasan, pemikiran, dan pandangan dapat ditumpahkan ke dalam tulisan. Bahkan, perasaan.

Si Sepi sekarang membisu. Dibiarkannya saya mencerna tiga alasan menulis itu. Namun, ia memang pantang menyerah. Saya tak diizinkan berlama-lama larut dalam buaian permenungan. Ia sorongkan kertas dan pena. Saya menggeleng keras dan beralih ke meja. Lalu, mengalirlah tulisan ini.

Si Sepi merasa kehadirannya tidak dibutuhkan. Sebelum pergi, ia membisikkan sesuatu. Kamu berhak bahagia, bisiknya, jangan tunggu orang lain membahagiakan dirimu. Saya bergeming, mengabaikan bisikannya. Hanya saja, Si Sepi memang tengil. Dengan menulis kamu dapat menyulap kesedihan dan kepedihan menjadi sesuatu yang menyenangkan dan menenangkan, bisiknya lagi.

Saya makin tidak acuh, makin larut dalam tulisan ini. Tatkala tulisan ini kelar, Si Sepi sudah tidak ada di depan saya. Sekarang ia sedang berada di sisi Anda, menemani Anda membaca tulisan ini. O ya, Si Sepi itu punya nama pena: Mata Hati. [kp]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun